Part 33

102 10 8
                                    

Happy Reading
━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

"Maksud kamu apa?"

"Lo yang bikin artikel itu, kan?"

Helaan napas mendahului jawaban Stella. "Zaen, kamu pikir aku sedangkal itu?"

Dahi Zaen mengrenyit, bukan karena bingung, tapi karena pening, sebab setiap bermasalah dengan Stella, cewek itu akan mencari-cari banyak alasan untuk membela diri. Dan Zaen nggak suka itu, karena sangat menguji kesabarannya. Zaen paling malas kalau harus banyak berdebat dengan Stella.

"Aku nggak sebodoh itu kali, Zaen. Aku sadar kalau bikin begitun udah pasti bakal langsung ketahuan. Sori ya, aku bukan orang yang suka bikin gosip murahan."

Zaen menatap Stella tajam, lalu berkata dengan nada menantang, "Lo kira gue bakal percaya gitu aja? Gue tahu lo ngira gue bakal mikir lo nggak mungkin sebodoh itu. Dan justru karena itu, lo bikin artikel itu. Lo pakai alasan 'gue nggak mungkin bikin ini karena terlalu ketahuan' sebagai tameng, padahal sebenernya lo sengaja ngelakuin. Strategi lo gampang dibaca, Stel."

Zaen paham benar bahwa Stella menggunakan taktik psikologis yang licik. Stella mencoba membangun citra diri sebagai orang yang lebih cerdas dan nggak 'sedangkal' itu, tapi Zaen tahu cewek itu manipulatif banget, dan Zaen ingin sekali membongkarnya.

Zaen membalikkan logika Stella dengan mengatakan bahwa dia tahu taktik itu—kalau Stella mungkin sengaja membuat kesan seolah dia nggak akan melakukan sesuatu yang begitu jelas (bikin artikel negatif tentang Aila) karena terlalu dangkal. Padahal itulah sebenarnya rencana Stella. Zaen yakin benar.

Apa yang dia katakan bukan bermaksud menuduh, karena Zaen sangat yakin itulah kebenarannya. Bahwa Stella memanfaatkan persepsi orang terhadap kecerdasannya,  untuk menyembunyikan tindakan yang sebenarnya. Dia merasa bahwa Stella menggunakan "alibi cerdas" sebagai tameng, tapi sesungguhnya tetap melakukan tindakan dangkal tersebut, hanya mengandalkan alasan yang nggak membuatnya tampak nggak mungkin melakukannya.

"Aku nggak nyangka, Zaen, ternyata kamu sejahat itu nuduh-nuduh aku." Stella siap menangis, tapi air matanya nggak kunjung keluar.

"Lo mungkin bisa nipu orang lain, tapi nggak dengan gue, Stell. Strategi lo murahan, terlalu mudah dibaca." Setelah mengatakan itu, Zaen menatap seisi kelas Stella yang diam menyimak.

"Ini semua ulah Stella. Artikel negatif ini nggak benar. Dia bikin rumor negatif tentang Aila buat bikin nama baik Aila jelek. Dia juga nggak benar-benar pingsan waktu itu!"

Sejak kemunculan Zaen dan tuduhannya yang berakhir membongkar taktik Stella, cewek itu sudah kalah talak. Napasnya menderu karena emosi yang tertahan. Ingin sekali dia mengamuk di depan Zaen, tapi dia harus menjaga image-nya. Sebab jika dia bereaksi demikian, maka hanya akan membuktikan tuduhan Zaen, walau mungkin sekarang orang-orang mulai memercayai apa yang Zaen katakan.

Sekali lagi Zaen maju, mencoba mengikis jarak di antara mereka hanya agar dia bisa mengintimidasinya. "Gue udah jauhin Aila demi kesejahteraan dia, tapi kalau lo keterlaluan begini, gue nggak mungkin jauhin dia lagi. Gue justru harus selalu ada di dekatnya buat ngelindungin dia dari cewek dangkal kaya lo!"

Begitu puas menegaskan peringatan tersebut, Zaen pergi meninggalkan kelas Stella. Dia nggak peduli telah membuat suasana kelas cewek itu menjadi hening, sehingga hanya napas menderu Stella yang terdengar.

"Sialan," gumam Stella. Dia melirik Brinna dan Mala yang mulai memberinya ekspresi canggung.

Sepertinya dua temannya itu telah termakan omongan Zaen, sehingga sedikit menjaga jarak dengan Stella. Menyadari itu, Stella mendudukkan dirinya dengan amarah yang siap meledak kapan saja.

Fake Girlfriend [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang