Part 45

110 10 9
                                    

Happy Reading
━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

Mereka nggak jadi menggunakan bis saat ternyata pilihan tempat yang akan mereka kunjungi itu Dufan. Zaen merasa akan lebih nyaman menggunakan taxi. Dan Aila menyetujui, lalu di sanalah mereka sekarang. Di dalam taxi.

Di dalam sana mereka nggak banyak bicara. Keduanya saling menatap jendela di posisi masing-masing. Menatap beberapa gedung yang bisa mereka pandangi dari balik kaca mobil, sesekali Aila juga menbaca beberapa slogan yang taxi itu lewati di pinggir jalan. Tak jarang juga dia menoleh saat taxi itu melewati bawah jembatan, dan Aila menatap orang-orang yang berlalu lalang di atas sana.

Sedangkan Zaen, cowok itu lebih sering memandangi kendaraan lain, mulai dari mobil, motor, truk dan busway. Namun, dengan pandangan kosong karena cowok itu nggak benar-benar fokus menatapnya.

Kurang lebih tiga puluh menit mereka akhirnya sampai di Dufan, yang saat itu langsung disambut oleh petugas di sana. Sebelum itu, Zaen memberikan tiket yang sudah mereka beli, lalu setelahnya mereka pun diperbolehkan masuk. Dan begitu masuk ke dalam, sinar matahari tiba-tiba menyengat padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah empat.

"Lo sholat dulu, kan, ya La? Di sini pasti ada masjid," kata Zaen.

Diingatkan sholat oleh Zaen membuat Aila berkhayal betapa Zaen ini sangat terlihat seperti imam yang sempurna, apa bila cowok itu memiliki keyakinan yang sama dengannya, maka kesempurnaannya akan bertampah dua kali lipat.

Tak seiman saja begitu memperhatikan ibadah Aila, bagaimana jika seiman? Mungkin Aila sudah dituntun ke jalan yang benar dalam mencari keimanan dan ketakwaan selama beberapa hari sebelumnya.

"Iya. Tapi liat Zaen, di masjid semuanya pakai kerudung. Pasti gue bakal jadi pusat perhatian karena satu-satunya orang yang pakai rok pendek dan nggak pakai kerudung," kata Aila. Keduanya sudah berada di area masjid.

Zaen memandangi Aila. Lalu bersuara, "Bukannya orang Islam nggak semuanya pakai kerudung? Maksud gue mereka pasti tahulah, dan nggak akan mikir macam-macam."

"Iya. Tapi mayoritas orang-orang di sana pakai kerudung. Gue jadi bakal ngerasa aneh kalau di sana," jawab Aila lagi.

"Itu bukan alasan buat lo jadi nggak mau sholat, kan? Maksud gue, kata Zikra sholat itu wajib bahkan dalam keadaan apa pun. Kalau lo nggak sholat hanya karena dengan alasan malu dan takut dipandang aneh, lo lebih bakal ngerasa berdosa? Soalnya juga Zikra tetep sholat meski pas itu lagi demam."

Hati Aila mencelos seketika. Malu, sangat amat malu mendengar penuturan itu dari Zaen. Bahkan lidahnya sampai kelu, mulutnya kaku. Dia nggak bisa menanggapi, rasanya jika dia menyanggah atau menjawab ucapan Zaen hanya akan membenarkan ucapan cowok itu-yang Aila banyak alasan.

Seulas senyum getir terpatri pada wajah Aila, bagaimana dia begitu sulit menahan fakta yang begitu pahit dia telan, karena seseorang yang menyadarkannya bukanlah seseorang yang memiliki keyakinan yang sama seperti dirinya. Dan Aila baru menyadari betapa sulitnya menjadi dirinya yang terlampau nggak shalehah seperti mereka para ukhti yang seterang lentera. Ya .. Robbi, Aila sangatlah malu.

"Mereka, kan, habis sholat, La. Masa iya langsung julid cuman liat lo di sana. Terus mereka ibadah dengan tekun sebelumnya buat apa?" tanya Zaen.

Masalahnya nggak semua orang berpikiran positif, batin Aila. Pada akhirnya Aila tersenyum pahit yang membubui titikan pilu yang meresapi setiap inti sel dalam tubuhnya, betapa dia sangat nggak tahu diri dan nggak jelas.

***

"Lo berani?" tanya Aila.

"Gue pernah ngerasain hal yang lebih ekstrem dari ini, walau pada akhirnya koma selama lima hari di rumah sakit," jawab Zaen. Keduanya sama-sama mendongak menatap jalan rel yang akan dilintasi oleh roller coaster sepanjang entah berapa.

Fake Girlfriend [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang