Prt 42

108 8 11
                                    

Happy Reading
━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

Aila terduduk di kursi taman rumah sakit. Kursi yang sama saat Aila menangis di sana bersama Zikra. Dan kali ini Aila seolah mengulang momen malam itu. Hanya saja nggak ada Zikra di sampingnya dan dia nggak menangis.

Hanya melamun dengan mata berkaca-kaca, karena merenungi segalanya. Segala yang membuat perasaannya seakan tertimpa berkilo-kilo karung beras beratnya dan segala kekacauan yang mungkin telah dia lakukan sehingga semua ini terjadi. Termasuk sikap Tante Widya kepadanya. Rasanya berat dan begitu sulit Aila cerna.

Kursi di sampingnya berdecit, menandakan ada seseorang yang mendudukinya. Awalnya Aila kira itu Zikra atau Zion, pasalnya hanya mereka yang bakal berani duduk di sampingnya, karena nggak mungkin orang asing yang tiba-tiba duduk di sana, kan? Namun, Aila dapat melihat melalui ekor matanya bahwa yang duduk di sampingnya bukan Zikra atau pun Zion.

Celana ala kantoran yang dipakainya membuat Aila tercenung dan membeku di tempat. Sejenak dia nggak bisa merasakan otaknya berjalan dengan lancar. Bahkan segala pikiran yang sebelumnya turut menyertai kegalauan Aila kini ikut terhenti.

Aila mendongak, dan sepertinya Tante Widya tahu Aila menatapnya. Namun, beliau memilih untuk tetap fokus menatap depan, yang terdapat bangunan gereja dengan jarak sepuluh meter dari taman rumah sakit.

"Tante kurang suka kalian dekat," ucapnya tanpa menatap Aila. Dan blak-blakan.

Kalian yang Tante Widya maksud sudah pasti tentang Aila dan anak pertamanya. Zaen. Dan Aila yang baru saja mendengar secara langsung jika Tante Widya terang-terangan menentang hubungannya dengan Zaen pun seakan kembali tertimpa berkilo-kilo karung beras. Berat sekali rasanya mendengar hal itu dari orang yang berperan penting dalam hidup laki-laki yang Aila cintai.

"Bukan karena Tante nggak suka kamu. Tapi, karena Tante nggak suka sama kemungkinan buruk yang akan terjadi sama kalia." Kali ini Tante Widya menoleh, menatap Aila.

Tante Widya melanjutkan, karena Tahu Aila masih sulit meresponnya. "Kalian hidup dalam keyakinan yang berbeda. Apa bisa kalian hidup bersama dengan keyakinan yang berbeda? Meski nanti kalian tetap bisa semisi dan sevisi, keyakinan tetap akan menghambat hubungan kalian."

Tante Widya dapat melihat betapa terkejutnya Aila saat mendengar ucapannya. Dan mungkin ucapannya itu seolah beliau tahu pasti perasaan keduanya. Perasaan Aila dan anak laki-laki pertamanya. Karena juga siapa yang nggak tahu? Apa lagi dirinya seorang ibu. Baginya sangatlah mudah menyadari perasaan anaknya yang saat ini terisi oleh siapa.

Namun, Aila tetap nggak menyangka bahwa Tante Widya sepertinya mengetahui perasaan Aila juga. Karena selama beberapa hari ini Aila terlalu giat menjenguk Zaen ketimbang teman-teman Zaen lainnya. Hal itu cukup memberi tahu beliau bahwa Aila mencintai anak laki-laki pertamanya.

Lalu Tante Widya berusaha menyadarkan Aila, dan hal itu cukup membuat Aila malu, karena telah disadarkan langsung oleh ibu dari laki-laki yang Aila cintai. Aila pun masih berusaha mencerna kata-kata Tante Widya seperti alasan dan maksud peringatnya itu.

Apakah itu alasan dari strategi halus Tante Widya agar menjauhkan Aila dari Zaen? Atau itu hanya serta-merta agar Aila nggak terlalu jauh memasuki kehidupan anaknya, karena Tante Widya juga perduli dengan perasaan Aila. Semacam nggak mau Aila sakit hati nantinya dengan kemungkinan terburuk yang beliau khawatir itu.

"Maaf Tante. Aila ngga bisa cegah perasaan Aila sendiri," ucap Aila akhirnya membuka suara.

"Nggak ada yang salah. Yang salah hanya waktu dan semesta, kenapa mempertemukan kalian kalau tujuannya hanya untuk diajuhkan kembali."

Fake Girlfriend [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang