Part 48

102 10 8
                                    

Happy Reading
━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

Masih ada waktu 18 jam sebelum Zaen berangkat ke Italy besok pagi-pagi pukul enam. Sebenarnya penerbangan dimulai pukul tujuh, tapi karena menuju ke sana memerlukan perjalanan yang akan menyita waktu dengan menit yang nggak bisa diprediksi, tergantung tingkat kemacetan, jadi Zaen akan berangkat dari rumah pukul enam pagi.

Dan Aila masih nggak mau menggunakan sisa waktu Zaen itu untuk sekedar ngobrol atau semacamnya. Cewek itu benar-benar bertekat akan menghindari Zaen, guna meminimalisir rasa kehilangannya besok. Padahal siang ini dia sudah merasa separuh jiwanya hilang karena Zaen.

"Lo kurang riset!" seru Sheva. Dia sedang berkunjung ke rumah Aila.

Melihat ekpresi Aila penuh tanda tanya, Sheva segera menambahkan penjelasan. "Sejak kali pertama lo suka sama dia, lo udah berapa kali nyoba buat ngelupain dia?" tanya Sheva.

Aila tampak berpikir dan sejauh dia mengingat, sepertinya percobaan itu sudah banyak Aila coba, sampai-sampai dia nggak bisa menghitungnya. Yang pasti ada lebih dari sepuluh kali. Dan semuanya berakhir dengan nggak jelas.

Aila sangat plin-plan serta nggak konsisten dengan tekatnya. Selalu saja luluh hanya dengan sapaan Zaen. Begitu berhadapan dengan cowok itu, tekat melupakannya lenyap begitu saja, melebur seperti juga hatinya.

"Dan selama itu, lo nggak berhasil ngelupain dia, kan? Jadi, lo coba ngehindari dia dalam waktu cuman satu hari doang. Sehari, disaat lo masih cinta-cintanya sama dia. Jadi potensi nggak ngerasa kehilangan banget itu nol persen!" Sheva mengatakannya dengan nada menggebu-gebu.

"Kesimpulannya, tindakan lo bakal sia-sia dan lo rugi besar!" lanjut Sheva, "Udah tetep ngerasa kehilangan lebih, terus sehari sebelumnya lo nggak coba buat ngabisin waktu sama dia!"

"Mending lo temuin dia gih!" suruh Sheva menginterupsi.

"Nggak yakin dia mau ngabisin sisa waktunya sama gue. Ada temen-temennya kali yang lebih istimewa."

Sheva menghela napas berat. Tak mengerti dengan kepesimisan sahabatnya itu yang memang sudah melekat sejak lahir.

"Bukannya kata lo semalem dia bilang 'padahal besok hari terakhir gue di sini' itu dia menyayangkan kenapa lo nggak mau menghabiskan waktu sama dia!"

"Ayolah Ai. Dia itu kan juga suka sama lo. Kalau apa yang kata lo barusan itu bener, gue yakin dua hari yang lalu dia nggak mungkin jalan sama lo, dari Dufan, Taman Kota, mall dan segala macem. Sampe nonton segala, main time zone. Dan lo ngabisin beberapa hari lo di rumah sakit nemenin dia!"

"Bukalah matamu, selebar dunia ini!" pekik Sheva. Seperti lirik lagu...

"Gue nggak mau gede rasa!" sambar Aila.

"Alah kampret. Sia-sia aja dong dia bilang cinta sama lo, kalau lonya nggak percayaan begini!" Sheva terdengar nggak habis pikir dan lelah menghadapi betapa keras kepalanya Aila.

Aila hampir merespon, tapi Sheva buru-buru menambahkan. "Malam itu, dia ngajak lo buat main lagi. Itu artinya dia milih lo buat ngabisin hari terakhir dia di sini dibanding teman-teman dia yang kata lo istimewa itu. Bahkan dia aja kecewa karena lo nolak, Ai. Lo berhak buat gede rasa bahwa dia sangat ingin, begitu mau dan sungguh berharap ko nggak nolak ajakannya!"

Menyadari Sheva tampak sangat geram dengannya membuat Aila keheranan. Dia meraup wajahnya dengan gusar. Lantas tatapannya jatuh ke arah tiga buah boneka yang berjejer di kasurnya. Boneka dari Zaen.

"Tindakan lo tuh nyakitin dia loh, Ai." Sheva mengimbuhi.

"Lo kelamaan mikir. Buru sana temuin. Gue mau pulang aja dan sampai gue udah di rumah lo belum nemuin dia, awas ya lo. Jangan nangis-nangis lagi kaya semalem!" ancam Sheva.

Fake Girlfriend [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang