021

273 45 3
                                    

—VOTE DONG—
Yang baca tapi nggak Follow, LO TEGA

☆☆☆☆

________________________________________

Jingga duduk di baklon dengan sebatang rokok yang terselip di antara ruas jarinya. Di pandanginya langit Jakarta yang tampak cerah malam ini. Banyak bintang yang menari-nari di sana.

"Cel, mau minum sekarang?".

"Nyebat dulu bentar boleh lah".

Jingga mengangguk santai. Cece mengambil sebatang rokok, memantik api dan mulai menghisap ujungnya. Gadis itu merokok, sudah jelas karena ia bukan tipe perempuan solehah versi ustadzah.

"Gue nyetok mie instan di lemari, ntar kalo laper makan itu aja". Ujar Jingga. Terkadang mie instan adalah pilihan terbaik ketika tidak ada yang bisa di makan.

Setelah dua menit berdiaman, Jingga mulai memadamkan rokoknya lalu menuang wine ke dalam gelas. Jingga meneguk tiga gelas sekaligus, membuat Cece menatap heran. Di depannya tampak Jingga yang mematut dirinya yang muram. Napas cowok itu mulai terdengar keras, saat itu Cece tahu bahwa ada yang tidak beres dari Jingga.

Awalnya sih Jingga tak ambil pusing dengan apa yang terjadi kemarin, karena baginya hal itu bukan apa-apa. Jingga terus menekuk wajahnya kebawah, dadanya juga terasa mulai sakit sekali. Tangannya terangkat satu untuk menyentuh bagian sakitnya, namun ia tidak menemukan darah disana. Ia menyadari bahwa luka itu berada di dalam dadanya.

Di depan Cece, Jingga tak akan pernah bisa berbohong. Gadis itu reflek mematikan rokoknya dan menggeser kursinya mendekat pada Jingga.

"Jingga, lo kenapa?".

"Can I tell you something?". Lirih Jingga yang terdengar kalut.

"Sure, I'm listening".

Jingga menoleh pada Cece yang menatapnya dengan wajah innocent. Menantikan apa yang ingin Jingga bicarakan padanya.

"Gue capek Cel".

"Why?".

"Nyerah boleh nggak?".

Dengan gerak sederhara, Cece menyentuh wajah muram Jingga dengan jemarinya. Mengusap penuh kelembutan disana. Cece jelas cemas. Sementara Jingga, ia hanya menatap Cece tak bersemangat. Membiarkan tangan hangat gadis itu menyentuh pipinya.

"Jingga... hey, kalo lo nyerah trus gimana bunda lo? Sejauh ini lo udah bertahan, masa mau nyerah? Karena apa lo ngomong gini coba cerita sama gue. Tadi lo masih baik-baik aja tau".

Untuk sesaat Jingga terdiam. Lalu dengan segenap kesabaran, Cece menunggu Jingga berbicara dengan jemarinya masih mengelus-ngelus pipi Jingga.

"Gue nggak tau Cel, gue cuma ngerasa capek aja. Capek sama semua kenyataan yang ada. Gue tau gue bukan satu-satunya yang punya masalah, gue juga nggak mau ngerasa paling menderita. Tapi kali ini emang gue ngerasa seberat itu buat bertahan".

Hening.

"Apa gue nggak boleh ngerasa capek?".

"Boleh Jingga, boleh banget. Istirahat, take your time. Lakuin apa yang bikin lo ngerasa better lagi. Lo bilang love language lo itu phisycal touch, right?".

Jingga mengangguk.

"Ada gue disini, buat lo".

"Lo terlalu berharga untuk gue lecehkan berkali-kali".

"Gue nggak pernah ngerasa di lecehkan Jingga, I accept you".

Jingga meneguk minumannya kembali, ada rasa sakit yang menusuk-nusuk sampai dalam-dalamnya.

"Cel?".

"Hhm?".

"Pantes gue kayak gini, suka mainin perasaan cewek. Turunan dari bokap gue Cel... bunda kemarin nelpon gue nangis-nangis, kasian bunda gue Celyne".

Jingga menjeda ucapannya sejenak.

"Celyne... kalo gue nikah sama lo, gue janji nggak bakal bikin lo jadi janda".

"Really?".

"Marcel, makasi ya udah mau dengerin gue cerita". Rasa kantuk tiba-tiba menyerangnya.

"Iya Jingga".

"Cel nikah sama gue ya?".

"Iya". Jawab Cece. Ia tahu bahwa Jingga mabuk, ucapan seperti itu akan dengan mudah ia lupakan esok hari.

"Cel, gue brengsek banget". Menjadi kata terakhir yang Jingga ucapkan sebelum tubuhnya ambruk.

Cece membopong Jingga dan merebahkan cowok itu di atas kasur, menyelimuti tubuhnya yang dingin dengan selimut tebal. Cece tahu, Jingga akan berakhir seperti ini kalau ia mabuk. Ajaibnya Jingga jarang sekali merasa mabuk jika bersama sahabat-sahabatnya, lain halnya jika bersamanya.

Cece berdecak.

"Tumben banget lo manggil gue Celyne". Ujarnya lirih.

Cece memperhatikan Jingga yang tertidur dengan napas yang mulai berjalan teratur.

Berjam-jam kemudian, Cece tak juga bisa tertidur. Gadis itu hanya memandangi Jingga yang tertidur pulas di sampingnya. Mirip anak kucing, lalu dengan begitu saja Cece meraih ponselnya dari atas meja dan memotret Jingga yang tidur pulas.

Sebentar lagi pagi menyapa, matahari akan merangkak naik. Ia bahkan belum tidur, akhir-akhir ini gadis itu memang sulit mengatur jam tidurnya. Terkadang ia bisa terjaga hingga pukul 8 pagi dan akan tertidur setelahnya.

Cece melirik jam dari dalam ponselnya sejenak lalu beranjak berdiri dan duduk diam sendiri di balkon di temani rokok.

Cece melirik jam dari dalam ponselnya sejenak lalu beranjak berdiri dan duduk diam sendiri di balkon di temani rokok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


________________________________________

Minggu, 2 januari 2022

JINGGA & MARCELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang