055

186 15 8
                                    

Karena kepanjangan. Jadi endingnya di next part.

Jangan lupa vote dan comment ya frens.

6000 kata, jadi silahkan baca kalau senggang.

Endingnya nyusul, besok.

kalo masih ada yang typo, tolong di komen ya guys.

*
*
*

"Marcel berubah."

"Berubah kenapa?" Opet melirik Jingga. Opet pura-pura tenang meski sebenarnya dia juga merasa khawatir.

"Gatau, tapi sejak gue rutin terapi. Dia udah ga kayak Marcel yang gue kenal."

Jeda.

"Dia mulai jaga jarak, entah apa salah gue."

Opet terdiam, setelah beberapa menit baru ia berkata. "Lo nggak nanya?"

"Belum."

"Lo nggak pengen tau dia kenapa?"

"Bohong kalau gue bilang enggak. Tapi setiap gue mau ngajak ngobrol dia selalu nolak dengan alasan-alasan yang nggak masuk akal." Jingga membuang abu rokoknya lalu menghisap kembali. "Kemaren gue berantem sama dia, dia ngamuk trus minta gue jangan ketuk roomchat dia lagi. Gue bingung. Gue kangen sama dia."

"Gue mau memastikan sesuatu, boleh gue nanya?"

Untuk sesaat mereka beradu tatap, hingga setelah itu Jingga menghembuskan asap rokok dari sela hidungnya dan menjawab. "Apa?"

"Lo mencintai dia?"

Jingga tersenyum sumir mendengar pertanyaan itu. Dia berusaha menguatkan diri meskipun tanpa sadar air matanya mulai menggenang. Mengingat kapan terakhir kali dia mengucapkan kalimat sayang kepada Cece. Atau apa mungkin selama ini dia tidak pernah mengatakan dia mencintai gadis itu? Jingga menelan ludah. "Cinta." Jeda. "Gue sayang banget sama dia." Imbuhnya.

Opet terdiam. Untuk waktu yang lama tidak ada yang mengeluarkan satu perkataanpun. Termasuk Jingga yang juga kehilangan kehilangan kata.

Setelah Akbar menutup mata. Mata Jingga selalu basah oleh kenangan. Hanya modal ingatan; tentang rumah kontrakan; tentang ayam kalkun; tentang pohon mangga, angsa putih, kuntilanak penunggu pohon pisang, kolor biru yang hilang; tentang Puncak Bogor; tentang Pantai Anyer dan ruang ICU; tentang tanah merah. Semuanya mampu membuat Jingga menangis meraung.

Lalu kemudian tentang Marcelyne Devita yang tiba-tiba menjauh. Mungkin inilah penyebab halusinasinya tidak kunjung menghilang, penyakitnya tidak kunjung sembuh.

Suasana hening. Seolah tengah tenggelam dalam kepahitan dan keputus-asaan.

"Besok." Opet menjeda kalimatnya sejenak, membuat Jingga menaikkan pandang kearahnya. "Besok acara 14 hari kak Akbar, kan? Gue bakal bantuin biar lo bisa ngobrol sama dia."

Jingga memgangguk, sebelum Opet pergi lelaki itu kembali bertanya. "Ver, Gerd nya masih sering kambuh?"

***

Dan ketika hari itu tiba, kesempatan juga datang. Jingga menelan pahit tatapan yang diberikan Cece padanya. Cece tidak tahu bahwa rindu ini mencekik begitu erat.

"Sayang.." Jingga memanggilnya pelan. Cece akhirnya menatapnya. "Lo kenapa belakangan ini cuekin gue terus?"

"Pencernaan gue lagi nggak enak aja."

"Seblak yang jahat kok gue yang lo cuekin?"

Cece tidak bersuara apapun selain menatap Jingga tanpa emosi didalamnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JINGGA & MARCELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang