051

147 15 2
                                    

POV Jingga tentang kepergian Akbar dibagi jadi 3 bagian, ini bagian pertama. Bagian kedua mungkin besok, mohonlah bersabar :)

Jangan lupa vote bestie

*
*
*

Akbar telah di tangani pihak rumah sakit. Kini Jingga menarik tangan Cece menjauh dari kerumunan sahabat-sahabatnya. Jingga membawa gadis itu duduk di salah satu tempat duduk di sudut lorong rumah sakit.

Jika melihat situasinya saat ini, jelas dia terpukul. Lama mereka saling terdiam. Jingga lalu melepaskan jaketnya dan memasangkannya pada tubuh gadis itu karena Cece hanya memakai baju kaos tipis. Udara semakin dingin karena di luar hujan.

Tanpa mengatakan apapun, tetapi matanya yang layu menjelaskan segalanya.

Cece yang semula diam menatap lantai, kini mulai mengarahkan pandangannya pada Jingga. Dia telah siap menerima rentetan pertanyaan dari Jingga. Sorot matanya seolah mengatakan bahwa dia mempersilahkan jika Jingga harus marah dan bicara dengan bahasa yang frasanya menyakiti hatinya.

"Kak Akbar kehilangan banyak berat badan belakangan ini, pikiran gue dia lagi diet." Kata Jingga. Kemudian membalas tatapan Cece.

Pada saat ini, Cece merasa seakan-akan tidak sedang berbicara dengan Jingga. Bukan karena kalimat yang diucapkannya, tetapi sorot mata yang berbeda, pertama kali ia jumpai tatapan Jingga yang seperti ini. Satu lagi tentang Jingga yang harus Cece rekam didalam memorinya.

"Jadi selama ini lo udah tau tentang kak Akbar Cel? Kenapa nggak ngasih tau gue?"

Cece hanya diam tatkala Jingga menatapnya. Air matanya sudah merebak, mengalir di tiap sudutnya. Sore itu, Jingga hampir melukai tangannya. Ketika ruas jarinya memutih, terkepal kuat membentuk tinju, siap dilayangkan kemana saja asal bukan Cece.

Lalu Cece menggenggamnya, seolah itu benda berharga yang tidak boleh lecet. Hingga perlahan kepalan itu melunak. "I'm sorry." Jawabnya, lalu diam sejenak. "Kak Akbar itu pasien papa. Gue nggak berhak ngasih tau siapapun."

Ada jeda beberapa detik setelah itu, "Tapi lo punya hati kan?" Dia tidak mau tahu. "Seandainya lo ngasih tau gue, semuanya mungkin gak akan seburuk ini."

Lengang.

"Ini emang udah buruk sejak awal Ga."

Jingga membeku mendengar jawaban itu, "jadi sejak awal lo tau kalo dia yang mati paling pertama diantara kami?" Jingga mengupayakan agar suaranya tetap stabil. "Gue gak nyangka lo ternyata semengerikan itu."

Jeda.

"Cantik tapi mengerikan."

Coba resapi seberapa menyakitkannya kalimat itu untuk didengar. Kemudian Jingga menarik tangannya, "gue tau semua orang bakal mati. Tapi..." Jingga mengais napas sejenak. "Pernah gak lo ngerasain didalam hati lo gimana orang bakal mati? Tau dan merasakan itu dua hal yang berbeda Marcel."

"Karena gue tau dan gue merasakan itu, makanya gue diem." Tentu saja secara rasional Cece mencoba menjelaskan situasi pada posisinya saat ini. "Gue gak mau lo juga ikut ngerasain itu."

"Oke, makasih atas kebaikan lo. Tapi sekarang apa? Gue terpukul berkali kali lipat."

Mungkin Cece juga memahami apa yang Jingga rasakan saat ini. Sehingga dirinya memilih untuk bergeming. Sebulir air mata turun lagi disudut hidung Jingga. Fakta bahwa Cece tahu mengenai Akbar, tetapi tidak mengatakan sesuatu pun kepadanya sangat melukai perasaannya.

"Lo tau, kalau sekarang lo juga ngambil peran dalam pukulan ini?"

Hening.

"Gue dari kecil udah bertumbuh dengan rasa sakit Cel. Dan ketika bertemu dengan lo, gue menganggap lo obat. Karena lo selalu jujur dan terbuka mengenai apapun. Gue suka dan nyaman sama lo karena lo orang yang rasional, realistis dan berterus terang. Tapi kenapa hal yang kayak gini lo sembunyiin dari gue?"

JINGGA & MARCELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang