048

215 25 1
                                    

Hi bestie, lama nggak ketemu. Gimana kabarnya?

Jangan lupa kasih bintang dan komen ya

Happy reading

☆☆☆☆☆☆☆



Cece tidak heran kenapa sekarang Jingga sepenuhnya menaruh atensi pada dirinya. Terhitung sejak dirinya menyinggung perihal persahabatan lelaki itu.

Hingga diam-diam gadis itu merekam satu hal lagi tentang Jingga. Rasa sayang yang Jingga punya untuk keenam sahabatnya tidak pernah sesepele jari kelingkingnya yang mungil. Tidak pernah pula setara dengan seberapa besar omong kosongnya saat berbicara.

Jejak langkah yang tercetak jelas dalam memori, gelak tawa yang ditampung semesta kala mereka bercanda bersama hingga isak tangis yang mendekam abadi dalam setiap tragedi menjadi saksi bahwa persahabatan mereka tak akan pernah lekang termakan waktu.

Situasi yang mengundang ingatan Cece akan persahabatannya sendiri dengan tiga gadis lainnya. Lalu menerbitkan senyum dibibir manisnya.

Jingga selalu suka membicarakan topik persahabatan mereka.

"Kenapa senyum?". Tanya Jingga tanpa mau melepas tautan mata yang sejak tadi terjalin. "Ada— yang lucu?".

Kepala Cece menggeleng lirih. "You already did". Jawab gadis itu setelah melihat tiga kerutan didahi Jingga. "Keliatan kok kalau sebenernya lo sayang banget sama sahabat-sahabat lo".

Mungkin ada secuil rasa ingin tahu dari Jingga, tetapi lelaki itu segera memalingkan wajahnya kebawah tanpa alasan. Lagi pula ia tidak butuh validasi dari siapapun karena baginya, invest waktu yang lama bersama para sahabat tidak mungkin akan meragukan rasa yang terjalin tulus.

Setelah saling diam cukup lama, akhirnya Jingga menyampaikan lebih lanjut tentang keresahannya. "Lo tau nggak? Gue sebenernya ngerasa bersalah banget sama dia. Karena dia tuh banyak diem nya. Gue sering banget pancing biar dia bisa ngobrol gitu loh Cel, maksud gue dia kan yang paling kecil di kontrakan, ya harusnya dia juga memposisikan diri sebagai anak bungsu".

"Tapi kan dia anak tunggal". Balas Cece cepat. Supaya Jingga sadar posisi sebagai anak dalam keluarga sangat mempengaruhi sifat alami di dalam diri mereka.

"Itu konteksnya kalau dirumah... sayang! Tapi ini dikontrakan". Timpal lelaki itu mencoba membedakan situasi yang ada.

Untuk kali ini gadis itu mengalah lagi, sifat dominan di dalam diri Jingga memang bersahabat dengan keegoisan. "Yaaa, siapa tau aja dia cerita, tapi bukan sama lo. Mungkin aja dia cerita ke kak Bima atau kak Juna, secara lo bilang Joko lebih deket ke dua orang itu ketimbang elo sama kak Agus". Cece menjeda ucapannya sejenak, memberi celah untuk Jingga memikirkan ulang tentang asumsinya terhadap Joko.

"Ini gue ngomong dari kacamata orang luar kontrakan ya, kalian itu emang satu tapi gue liat nya ada banyak kubu gitu loh. Keliatan kok, dari cara nyelesaiin masalah, lo pasti berat ke Kevin sama Agus, itu jelas dari lamanya waktu yang kalian bertiga habisin bersama. Trus gue liat kak Bima yang lebih berat ke Joko. Disini gue cuma liat kak Akbar aja yang netral karena menurut gue kak Juna juga masih berat ke kak Bima. Lo paham nggak? Kalian masih pecah Ga".

"Ahh lo ngaco deh". Timpal Jingga sambil mencari cari letak kebohongan dibalik bingkai mata gadis itu.

Namun-alih-alih mengoreksi ucapannya, Cece lantas mencoba meyakinkan. "Sekarang coba lo pikirin omongan gue barusan baik-baik. Bener nggak?".

Cece mendapati Jingga yang terdiam sambil menyugar rambutnya kebelakang. "Trus ini dari segi parenting, Joko itu anak tunggal. Masa lo nggak bisa ngerti posisi dia sih? Kan lo sama dia juga sama-sama anak tunggal".

JINGGA & MARCELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang