044

262 28 1
                                    

Jangan lupa kasih bintang dan komen ya bestiee

Maafin kalau typo yaa

Happy reading

*******************************

Kalau kangen ketemu aja dulu, urusan peluk dan cium nanti nunggu kalau udah sepi.

*

*

*

Bersama Jingga, jarang sekali gadis itu memiliki pembicaraan yang berarti. Setiap kali dia ingin mencurahkan seluruh isi hatinya, meminta atensi Jingga hanya untuknya. Barangkali semalam saja, itu sulit dilakukan.

Jingga tidak pernah menanggapinya dengan serius, tidak pernah bersikap seperti dia juga ikut merasakan segala ketakutannya.

Bukan Jingga yang tidak peka, tapi ketika dia sudah melibatkan perasaannya, sulit baginya menahan diri untuk tidak bersikap buruk pada siapapun yang menyakiti orang yang ia sayang. Oleh sebab itulah dia memilih cuek dan tidak peduli.

Padahal Cece sangat ingin menceritakan bagaimana suntuknya dia belakangan ini. Bagaimana naskah skripsi yang terus menerus mendapat penolakan dari dosen pembimbingnya. Bagaimana kacaunya ia ketika pesan terror untuknya kembali menggerayangi hari-harinya.

Sampai mau tidak mau Cece harus mengangkat telpon dari seseorang yang entah siapa. Menyimpan rasa takut untuk dirinya sendiri yang andai saja gadis itu ceritakan pada Jingga, maka lelaki itu tidak akan menahan apapun selain mencari keberadaan orang itu. Sehingga masalah seperti ini bisa saja menjadi cepat selesai atau kemungkinan buruknya malah melebar kemanapun.

Namun alih-alih bercerita, gadis itu memilih bungkam dan membungkus masalah itu untuk dirinya sendiri.

Malah sekarang tak henti-hentinya Cece membuang napas pasrah ketika Jingga dengan santainya mencabut jarum infus dipunggung tangannya. Mengganti pakaiannya dan bersiap-siap untuk pergi.

"Jingga lo mau kemana sih? Baru juga bangun". Kalimat itu adalah yang pertama kali di ucapkannya setelah beberapa saat memantau sikap Jingga.

"Pulang". Jawabnya santai.

"Pulang? Lo gila ya?".

Lelaki itu mengendikkan bahu dan melangkah mendekat padanya dengan tergopoh-gopoh membawa senyum lebar dibibirnya. "Cel, gue udah 4 hari disini. Lo nggak mikirin berapa biayanya? Nggak ditanggung BPJS loh gue Cel, kasian bunda nyari duit susah".

Cece berdecak. "Disaat begini bisa nggak lo buang dulu prinsip ekonomi lo itu? Sementang anak akuntansi semua lo perhitungin".

"Gue udah gapapa Cel, lagian gue harus ketemuin temen-temen gue".

"Gapapa gimana? Lo udah hampir mati tau nggak? Jalan ketoilet aja lo masih oleng, kencing aja masih duduk. LO BILANG ITU GAPAPA?".

"Tapi yang penting kan gue udah bisa...".

"IYA BISA, BISA MATI". Kata-kata Cece membuat Jingga menelan ludah sekali.

"Hehe". Jawabnya lalu menyeringai. "Lo mirip banget deh sama bunda kalau lagi khawatir. Emang lo sayang banget ya sama gue?". Tanya Jingga dengan senyum paling lebar yang ia punya, sehingga kedua matanya membentuk sepasang sabit indah.

Di detik ini Cece berusaha untuk tidak memuntahkan semua isi perutnya kewajah Jingga. Orang seperti Jingga kalau di jual di pasar loak kira-kira laku berapa ya? Mungkin cuma bisa buat beli koran. Di giveaway juga paling tidak ada yang mau ikutan.

JINGGA & MARCELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang