053

115 16 0
                                    

Yang ikut turun ke liang lahat adalah ayah Akbar, Kevin dan Joko. Jingga, Agus dan Juna yang bertugas mengirim tanah untuk di isi ke bawah secara perlahan. Di bantu oleh keluarga Akbar yang lainnya juga.

Ibu dan ke dua adiknya tak henti menangis dengan tubuh yang bergetar. Mata ibunya merekam bagaimana tanah itu mulai menimbun putra tertuanya. Kenangan bersama Akbar mendadak melesat di ingatan wanita itu.

Tetesan air mata mereka melebur di tanah merah. Satu tangisan bersautan dengan tangisan lainnya. Kisah mereka penuh ironi. Tak sebahagia seperti yang mereka bayangkan selama ini.

Mana mungkin ini sebuah perpisahan termanis. Mana mungkin ini bisa di sebut akhir yang bahagia. Mana sanggup mereka menghapus tebalnya nama AKBAR di dada mereka

Jingga menatap sayu tanpa tenaga. Energinya terkuras secara total. Sejak kemarin tidak memakan apapun. Dadanya terasa nyeri setiap kali hembusan napasnya.

Tanah itu menimbun sahabat terbaiknya. Plot twist yang sangat anjing.

Senja mulai turun, sebentar lagi adzan magrib berkumandang. Entah bumi berputar lebih cepat atau kewarasan Jingga semakin menipis sehingga semuanya berlalu begitu saja. Gundukan tanah merah didepannya bertuliskan nama Akbar dipapan kayu sementara. Kemana hilangnya semua orang tadi? Jingga memendarkan pandang kesekitarnya. Hanya tersisa mereka berlima.

Ajaib. Yang pergi cuma satu orang tapi dunia terasa kosong. Mereka terdiam. Tak ada keinginan untuk melakukan apapun. Semesta menghujani mereka dengan beribu luka yang menyiksa. Semua tatapan lelaki itu jatuh pada sebuah nisan yang bertuliskan nama Akbar.

Tidak ada yang mengharapkan sebuah perpisahan. Jingga melihat Kevin membuka mulutnya sesaat, seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Kini lelaki itu membawa tubuhnya berdiri, berjalan mendekati presensi Juna yang berjongkok di samping nisan Akbar.

Semua menatap Kevin yang terlihat bengis, Jingga menangkap ada kemungkinan kecil bahwa Kevin akan memukul Juna. Namun Juna membalas tatapan Kevin dengan senyuman getir.

Kevin mengangkat kerah baju Juna hingga cowok itu terpaksa berdiri dari duduknya. Nafas Kevin memburu seperti kerasukan sesuatu. Debar di dada yang lainnya berlanjut ketika Kevin melayangkan tinju tepat pada sudut bibir kiri Juna.

Juna terpengkur ke tanah dan kini darah segar mengalir di bibirnya. "Kenapa lo nggak ngasih tau gue kalo waktunya udah dekat ha? Kenapa?"

Joko berdiri dan berjalan mendekati Kevin lalu bersuara lirih. "Kak-"

"Diem lo!"

Joko mengesah berat, mata cowok itu masih sembab, air matanya belum kering. Joko lelah dan akhirnya pasrah.

"Kenapa lo nggak ngasih tau gue anjing. Gue-" Jeda Kevin karena dadanya terasa menyempit dan sesak. "Gue bahkan belum baikan sama dia!"

Hening.

"Gue belum baikan sama dia anjing." Pekiknya namun terdengar merintih.

"Kita bisa selesaiin ini semua di rumah secara kekeluargaan." Ucap Agus jengah.

"Tolong ini semua di selesaikan secara baku hantam ya, jangan secara kekeluargaan karena kita bukan keluarga". Balas Jingga mengompori.

Kevin menggenggam kuat kerah baju Juna dengan kedua tangannya. Di balik keterdiaman Juna, cowok itu menyimpan banyak peluru untuk di tembakkannya pada Kevin. Namun Juna memilih bungkam. Bukan hanya sekali Juna menahannya, dia sangat lelah. Dan yang keluar dari mulutnya hanya belasan kali kata maaf.

Jingga berdiri lalu melepaspaksa genggaman Kevin di kerah kemeja Juna. Tak peduli seberapa keras Kevin memberontak, sisa tenaga Jingga lebih kuat darinya.

"Adzan-" Lirihnya lalu menarik Kevin menjauh menyusuri jalan keluar pemakaman. Kevin kembali menangis, bibir itu mengeluarkan isakan kecil.

Mengikuti langkah Jingga dengan gontai lalu masuk ke mobil. Sedetik kemudian cowok itu berteriak histeris.

"Aaarrrrrgggghhhhhh- fuckkkk".

Jingga mengusap kasar wajahnya lalu menghidupkan mesin mobil dan berlalu meninggalkan pemakaman.

*
*
*

"Jingga."

"Jangan tanya keadaan gue." Jawabnya sambil memejamkan matanya.

"Oke, gue cuma bakal temenin disini." Jawab Cece, kemudian ikut duduk disampingnya.

Ada keheningan yang cukup lama sebelum Jingga berbicara, "gue benci ada yang bilang semuanya akan baik-baik aja." Lalu menghirup napas panjang. "Gue benci ada yang bilang kalau kesedihan itu bakal berlalu seiring berjalannya waktu. Menurut gue itu menyedihkan."

Mata cece berembun. "Toh pada akhirnya kita juga akan menyaksikan lebih banyak kehilangan lagi. Jadi ngapain bilang kalau semuanya akan membaik?"

Jingga memberanikan diri memandang gadis disampingnya. "Cel." Bisiknya.

"Hhm??"

"Janji sama gue kalau lo nggak bakal pergi ya? Tetap sama gue sampai kita nikah, punya anak yang lucu-lucu. Selama-lamanya. Jangan pergi walaupun gue nyakitin lo. Jangan pergi apapun alasannya. Gue nggak mau hidup tanpa lo."

Jingga menggenggam tangan Cece selagi menanti jawaban.

"Gimana kalau nanti elo yang malah ninggalin gue?"

"Nggak akan. Gue janji!" Jawabnya lalu menghambur kepelukan Cece.

Ketika Jingga mulai mencium ujung bibirnya. Cece berharap ini bisa membantu Jingga melupakan apa yang sudah terjadi. Membantu Jingga mencapai titik baliknya. Semoga kenyamanan semacam ini lebih menguatkannya.

Lumatannya lembut. Tidak menuntut harus diselesaikan diranjang. Cukup begini. Sepanjang malam tidur dalam hangatnya dekapan perempuan yang dia cintai. "Gue janji nggak akan ninggalin lo, sayang." Imbuhnya sekali lagi.

Jawabannya membuat Cece tersenyum. Gadis itu berdiri, namun Jingga menariknya hingga terduduk membelakangi Jingga. Dia mencium tengkuknya dan memeluknya dari belakang. "Belum. Gue masih pengen ciuman." Napas Jingga berembus hangat dikuduknya.

"Bentar, gue kebelet pipis." Jawabnya.

Jingga tertawa geli. "Bener-bener diluar dugaan dan pikiran."

Cece kembali berdiri setelah Jingga melepaskan badannya. "Tema hari ini adalah nemenin lo tidur. Jadi sabar dulu gue butuh persiapan." ujarnya sambil melangkah ketoilet.

Jingga tertawa mendengarnya. "Sumpah lo lucu banget."


JINGGA & MARCELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang