Chapter 36: Set up

22 1 0
                                    

Tidak ada yang Madilyn bisa lakukan saat ini selain berbaring dan menangis. Disisi dia sudah kesal dengan Liam, dia juga masih bersedih karena merasa hatinya yang tersakiti. Dia tak makan dan merasa lapar sebetulnya akan tetapi, malas untuk keluar dan mengambil makanan di dapur karena itu dia menelpon Cassie dan meminta ART yang terbilang masih cukup muda itu membawakan makanan yang ada di dapur. 

Cassie meletakkan makanan di meja Madilyn yang masih asik membaca buku tentang pembunuhan dan romansa cinta. Dia juga masih bekerja terlihat dari laptopnya yang masih menyala. 

"Non, saya kemaren pas belanja di supermarket nah, kemudian mampir ke lantai dua kan ada tuh jualan baju. Pas saya keliling sama Devina saya liat pak bodyguard jalan sama perempuan. Dia tersenyum ringas menatap perempuan itu, non." celetuk Cassie tiba-tiba setelah meletakkan makanan Madilyn. 

"Liam?" Madilyn mengangkat alisnya karena dia tak begitu paham bodyguard mana yang Cassie maksud. "Iya, Non." jawab Cassie dengan semangat karena dia sangat menyukai bergossip meskipun dengan boss-nya sendiri. "Oh, terus apalagi? Kamu ada buktinya gak? Jangan asal ngomong ya, Cassie ya walaupun sekedar asumsi." ucap Madilyn menasehati karena bagaimana pun Madilyn tidak suka jika Cassie menggosipkan dirinya dan Liam yang mungkin saja terdengar oleh ayahnya hingga Liam pergi dengan sendirinya. 

Cassie pun segera membuka ponselnya, Madilyn tak mau menggubris hal itu dan tetap fokus memeriksa dokumen yang ada di laptopnya akan tetapi, Cassie mendekat dan berdiri di samping Madilyn untuk membuktikkan apa yang dia lihat kemaren. Madilyn seketika terkejut, hatinya semakin hancur, dia semakin marah dengan Liam. Bisa sekali Liam mencintai perempuan lain jika Liam harus menyingkirkan dirinya begitu saja seolah permen karet. 

'habis manis sepah dibuang' gumamnya dalam hati. 

"Non, jangan sedih ya, kan masih ada pak Steven, pria kaya yang jauh lebih mapan dan lebih baik dari pak bodyguard." ucap Cassie mengedipkan matanya agar urat syaraf Madilyn tak menegang seolah ada yang menahan dirinya untuk bergerak dan berekspresi. Karena sakit dan luka yang terlalu dalam, Madilyn pun rasanya hampir mati dibuatnya. Hatinya kini juga sudah mati. 

"Gak sedih, cuma marah aja. Oh ya, kamu gak usah cerita banyak-banyak karena saya gak suka. Tulis mau berapa." Madilyn menyerahkan cek di hadapan Cassie yang terbelalak karena dia bisa menulis berapapun hanya untuk menutup mulutnya. 

"Ini serius?" Cassie menulis 50 juta dan Madilyn dengan santai tanda tangan di atas cek itu, 

"Kamu harus tutup mulut kamu itu dan yang sudah terjadi biarlah berlalu. Kami sudah tidak pacaran lagi dan aku tidak ingin mengingatnya karena dia sudah bukan milikku lagi. Dia sudah mengakhirinya tanpa alasan dan penjelasan. Jika dia bersama dengan wanita lain, maka, biarkan saja. Itu adalah pilihan hidupnya." ucap Madilyn pasrah. Dia kembali menikmati kopinya dan membuat Cassie sedih mendengarnya. 

"Saya janji gak akan ngomong tentang dia lagi, Non. Terima kasih buat ceknya." Cassie menyeringai kepada Madilyn yang masih terlihat bersedih dan hampir meneteskan air mata namun, tertahan. 

Setelah Cassie keluar dari ruangan, Madilyn mengunci pintu ruang kerjanya dan menangis di belakang pintu. Dia benar-benar putus asa saat ini seolah tidak ada harapan lagi untuk mendapatkan Liam dan dia juga tak siap bila harus mencintai pria lain saat ini. Dia seolah memeluk pintu yang sudah basah akan air matanya. Dia memegangi perutnya dan dia harus tegar demi si kecil yang sedang tumbuh di dalam perutnya. 

"Andai kamu tau apa yang sedang terjadi. Andai kamu tau bahwa aku begitu merindukan segalanya tentang kamu. Apa pun itu, disetiap sentuhan membuat aku merasa sendu mengingatnya. Aku merindukan tentang bagaimana kamu bicara dan membuat telinga ini nyaman kala mendengarnya. Aku merindukan tentang sejuta cinta yang selalu kau janjikan." ucap Madilyn dalam hatinya. 

Personal BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang