Menu [13] Isi Hati
Kaira berhenti di depan sebuah rumah berpagar tinggi. Ia menekan klakson sepeda motornya dua kali sebelum terdengar langkah kaki tergopoh asisten rumah tangganya, Bi Iim. Bi Iim membuka pintu gerbang. Tiga buah mobil berjejer di halaman rumah. Kaira pun masuk, memasukkan sepeda motornya ke dalam garasi sementara Bi Iim menutup pintu gerbang.
Kaira kembali kerumahnya di saat senja. Lampu taman menyala kuning. Ia memandang sekeliling rumahnya sedih. Tiap kali memandang halaman rumahnya, rasanya hampa dan kosong. Sejauh mata memandang hanya ada air mancur kolam ikan dan beberapa patung disana. Tidak tampak satu tanamanpun di halaman yang dibiarkan tumbuh. Satu pot tanaman Calathea Pisang yang baru bertunas terbuang di tempat sampah. Niatnya untuk menghijauhkan rumah gagal untuk kesekian kalinya.
Kaira melangkah masuk ke dalam rumah.
"Sudah pulang?" Ibunda menyapa Kaira.
"Iya, Mah," jawab Kaira.
"Mandi, terus makan malam. Papah juga sebentar lagi pulang," perintah Mama.
Kaira mengangguk tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ia kemudian masuk ke dalam kamar. Ia duduk di atas tempat tidur, merenungi kondisi Mamanya yang tampak semakin kurus. Wajah ayunya tampak kuyu. Keriput mulai terlihat di ujung mata, dahi, dan dagunya. Ia meraih sebingkai foto. Di dalam foto itu, Kaira dan Kaisya, kakak perempuannya tertawa sambil melambaikan tangan. Foto diambil dua tahun yang lalu saat mereka berempat, ia, Mama, Papanya, dan Kaisya tengah berlibur ke New York.
Usai mandi, Kaira keluar dari kamarnya. Papanya yang bekerja sebagai senior manager sebuah perusahaan swasta baru saja sampai.
"Eh udah pulang," sapa Papa saat melihat putri bungsunya sudah berada dirumah. Biasanya, jika restaurant tengah ramai, Kaira pulang larut.
"Ayo makan!" Ajak Mama. Ia meletakkan empat piring berserta sendok-garpunya dan empat gelas.
Kaira duduk di kursi melirik piring keempat. Ia kemudian saling pandang dengan Sang Papa. Papa menggeleng mengisyaratkan putrinya untuk jangan membahas soal piring keempat.
"Makan yang banyak, ya!" Mama mengambilkan Kaira dan Papa beberapa centong nasi. Ia juga mengambilkan secentong nasi di piring keempat.
"Tumben Kaisya belum datang," seloroh Mama. "Selamat makan keluargaku!" Seru Mama.
Kaira mengunyah makanannya dalam diam. Tidak ada obrolan di meja makan. Papa pun sama diamnya. Kaira melirik Mamanya sedih. Sudah setahun terakhir kondisi Mamanya seperti itu. Ia selalu meletakkan piring keempat di kursi yang selalu diduduki Kaisya setiap makan bersama.
Kaisya, kakak perempuannya, meninggal setahun yang lalu setelah berjuang melawan penyakitnya bertahun-tahun lamanya. Selama Kaisya memperjuangkan setiap hela nafasnya, Kaira dan Papa selalu mencoba ikhlas –bukan putus asa—menyiapkan diri akan kemungkinan terburuk, kehilangan Kaisya. Berbeda dengan Sang Mama. Setelah Kaisya menghembuskan nafas terakhirnya, hingga kini, Mama belum menerima. Mama depresi kehilangan Kaisya. Ia sering bercerita pada Kaira dan Papa tentang kegiatannya bersama Kaisya setiap harinya. Papa berpura-pura antusias mendengar cerita Mama agar Mama tidak merasa sendirian dalam kondisinya. Namun Kaira tidak bisa seperti Sang Papa. Kaira ingin Mama menerima kenyataan bahwa Kaisya sudah tidak ada lagi disini.
-Isi Menu [13] Isi Hati Selengkapnya hanya di ebook
Googleplay store : Kata kunci Roxabell212
Author di : 085 726 266 846
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Chef! End - Sudah Terbit
RomanceSebagai seorang Chef, perjalanan karirnya didukung oleh privilege yang melekat pada diri dan keluarganya. Sebagai seorang chef, ia tahu betul bagaimana kehidupan sebuah 'dapur' demi memuaskan 'taste' para pelanggan. Sebuah kesalahan sedikit saja, ka...