Istrinya bukan orang cuek, setidaknya pada dirinya. Perempuan yang ia nikahi secara terpaksa itu selalu mencari cara agar mendapat perhatiannya. Ditengah kekacauan ini, nyatanya hubungan mereka semakin membaik. Meski tidak terlalu di perlihatkan karena fokus menghadapi para Lesmana itu, namun mereka sama-sama tahu jika sudah ada perasaan diantara mereka.
Namun sejak pagi itu, Kayra mendiaminya. Seharian ia membujuk sang istri namun tidak membuahkan hasil. Pendirian Kayra begitu teguh, tidak mudah ia luluhkan bahkan dengan perlakuan manis. Oleh karena itu, malam ini ia bertekad untuk mencaritahu kebenarannya agar bisa mendapatkan maaf dari sang istri. Terlebih, calon anaknya sudah tumbuh di rahim perempuan itu.
Memerintahkan orang untuk mencaritahu tentang perempuan yang menjadi kliennya semalam, ia juga mendatangi apartemen sekretaris-nya secara langsung. Sebenarnya dia tidak perlu repot-repot seperti ini, hanya saja dia tidak ingin membuang waktu. Sedangkan rekaman CCTV akan ia dapatkan dengan bantuan Galih. Tidak mungkin ia meminta bantuan dari Revika, bisa-bisa dia mendapat banyak rentetan pertanyaan dari adiknya itu. Entah apa yang diberikan Galih hingga adiknya semakin hari semakin mirip dengan ibunya.
"Pa-Pak Gibran..."
Cicitan dari sekretaris-nya tidak ia hiraukan. Tanpa kata, ia melangkah masuk kedalam apartemen yang merupakan fasilitas kantor. Duduk di sofa tanpa perlu menunggu sang pemilik mempersilahkan.
"Saya tidak memiliki waktu untuk basa-basi, ceritakan kejadian kemarin sedetail mungkin!" perintahnya mutlak. Ia perlu mengetahui kronologi kejadian semalam agar lebih mudah mengumpulkan bukti dengan cepat. "Cepat Rista, atau saya perlu memakai kekerasan?"
Rista, sosok sekretaris dari Gibran itu berkeringat dingin. Ini memang kebodohannya karena tergiur dengan uang. Wanita itu berkata akan bermain serapi mungkin, lalu kenapa dia terlibat dalam masalah ini?
"Kejadian kemarin, maksud Bapak kejadian yang mana?" sebisa mungkin ia mengontrol intonasinya. Bersikap biasa saja dan mulai menyusun alibi di kepalanya.
"Hotel. Langsung saja Rista, sebentar lagi rekaman CCTV juga akan saya dapatkan."
Mati sudah. Tidak ada pilihan lain, ia pun menekuk lututnya. Kedua lututnya bertemu dengan lantai kemudian memasang wajah penuh bersalah. "Maafkan saya Pak Gibran... Saya... Saya diancam."
"Tapi kamu terlihat seperti sukarelawan." Gibran berdecih. "Siapa wanita itu? Apa hubunganmu dengannya?"
"Saya tidak tahu..." Rista menjawab dengan pasrah. Aura intimidasi dari atasannya ini membuat ia tidak bisa berkutik. Mau berbohong pun terasa percuma. "Nona Friska tidak mengatakan hal lain selain menyuruh saya untuk diam dan tutup mulut. Sungguh, Pak, saya tidak mengenalnya."
Helaan nafas terdengar dari Gibran. "Apa yang direncanakan wanita itu?"
Pandangan Rista terlihat menerawang. Sekretaris dari Gibran ini kembali mengingat percakapannya kemarin dengan Friska --yang katanya klien dari bosnya ini-- beberapa saat setelah Gibran kehilangan kesadarannya.
"Kamu tidak berniat aneh-aneh pada Pak Gibran bukan?"
Yang ditanya malah menyunggingkan senyum culas. "Hanya membuat drama seru."
Hanya itu karena setelahnya Friska membawa Gibran dengan menyuruh dua orang pria berpakaian serba hitam. Entah berasal dari mana orang-orang itu. Ia tidak tahu apa kejadian selanjutnya. Dan ia rasa itu bukan sesuatu yang baik karena bos-nya sampai repot-repot datang kemari.
"Saya tidak tahu kalau kamu begitu bodoh, Rista." Gibran beranjak dari duduknya. Sia-sia saja dia kesini, tidak ada informasi berguna yang ia dapat. "Kemasi barang-mu. Kamu resmi dipecat detik ini juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck With Beautiful Princess
Romansa[#5 Wiratama's] Datang ke club malam hingga mabuk berat bukanlah kebiasaannya. Malam itu, ia merasa patah hati mencoba mencari hiburan disana. Saudaranya -Regan- dulu kerap ke tempat maksiat ini, adiknya saja -Gava- juga melakukan hal yang sama. Mak...