Drama malam ini belum selesai rupanya. Memasang wajah sedikit bersalah, Kayra mendatangi tamu tak diundangnya. Dalam hati menerka-nerka apakah baju perempuan bernama Lusi ini sudah kering atau belum. Secara Gibran tidak membiarkan semuanya selesai dalam waktu cepat. Dan ada satu sikap pria itu yang berkesan baginya. Ketika pria itu mengobati luka di tangannya meski dengan mendumal.
"Apa kamu berniat memotong tangan-mu?" Suara Gibran terdengar dingin. Sedangkan mata pria itu terus tertuju pada luka di tangan istrinya. Terlihat begitu konsentrasi saat memberikan salep di luka-luka itu.
"Aku kan masih belajar." balas Kayra pelan, mengulum senyumnya karena mendapatkan perhatian dari sang suami. Hell, kenapa dia jadi terlihat seperti perempuan kurang perhatian?
"Dari wajah-mu saja sudah terlihat tak ada bakat memasak sedikit-pun."
"Kalau giat belajar, sebentar lagi aku bisa!" perkataan penuh semangat itu hanya dilidah saja. Karena jujur, dia sedikit malas untuk kembali ke dapur. Sudah lelah, gagal pula. Bonusnya dia mendapat luka.
"Maaf Lusi, aku benar-benar tidak berniat membuat-mu menunggu. Tapi... Yeah... Terkadang Gibran tiba-tiba menjadi manja."
Dibanding peran protagonis yang kerap ia mainkan, sebenarnya dia lebih cocok menjadi antagonis. Banyak pikiran picik melayang-layang di kepalanya. Senyum jahat yang selalu ia simpan, sedangkan bibirnya terus memberikan senyum manis. Wajah ayu yang terkesan imut itu membuatnya terlihat seperti wanita lemah yang selalu membutuhkan pertolongan. Dan dia memanfaatkan pemberian Tuhan tersebut sebaik mungkin.
"Boleh aku ke toilet?" dari raut wajahnya saja Kayra tahu jika Lusi menahan kesal. Memang siapa yang tidak kesal ditinggalkan begitu saja? Jika dia menjadi Lusi, dia pasti sudah pergi.
"Tentu. Bibi akan mengantar-mu." ia memberi kode pada pelayan yang ia panggil tadi untuk mengantarkan tamunya ini.
Beranjak dari sana, perempuan dengan balutan piyama selutut itu berjalan menuju dapur. Berbeda dari sebelumnya, sekarang kondisi dapur sudah kembali normal. Berpindah ke ruang makan, disana sudah tertata makanan yang ia beli. Pasti Bibi yang menyiapkan, batinnya.
"Hasilmu?"
Tubuhnya menegang merasakan hawa panas di belakangnya. Kapan Gibran datang? Kenapa bisa tiba-tiba ada di belakangnya tanpa sadari? Terlebih posisi keduanya begitu dekat meski tak saling bersentuhan.
"Bu... Bukan." ia berdeham pelan. Tubuhnya berangsur rileks ketika Gibran menjauh, pria itu duduk di kursi meja makan.
"Lalu mana hasil dari luka-luka mu?"
Kayra meringis mendengarnya. "Nggak ada." Cicitnya pelan. Malu rasanya tidak bisa memasak sama sekali. Padahal dia sudah berekspektasi tinggi. Seperti Gibran menyukai makanannya lalu merambat menyukai yang memasak juga. Lalu mereka akan saling mencintai dan hidup bahagia.
Sayangnya tidak semudah itu. Entah itu memasak ataupun meluluhkan hati Gibran, keduanya sama-sama susah. Pria ini sulit di tebak, bisa bersikap manis dan tajam dalam kurun waktu berdekatan.
"Sudah kuduga," Gibran menyodorkan piring kosong pada Kayra. Sedangkan istrinya malah terlihat bingung. "Berperan-lah sebagai istri." ujarnya sembari melirik piring yang masih di tangannya.
Wajah Kayra berubah sumringah, istri dari Gibran itu mengambil piring tadi lalu mengisinya dengan nasi. "Cukup?" tanyanya. Tidak seperti pengalaman pertamanya, kali ini Gibran menjawab. "Kurangi sedikit." Dan entah kenapa kedua sudut bibirnya tertarik begitu saja.
Mengambilkan nasi berserta lauknya. Memberikan piring tersebut pada suaminya. Sedangkan dia memilih duduk menopang dagunya dengan mata tak lepas dari gerak-gerik Gibran. Kadang dia berpikir bisakah dia membuat pria ini jatuh cinta padanya tanpa berpikir apakah dia sudah mencintai suaminya sendiri atau belum.
Apakah dia jatuh cinta pada Gibran? Dia tidak tahu. Disatu sisi Gibran menyakitinya lewat lidah tajam pria itu namun juga tidak memperlakukannya dengan buruk secara fisik. Satu fakta baru tentang Gibran yang melindunginya membuat nilai plus pria ini bertambah. Mungkin nanti dia akan jatuh cinta pada suaminya ini dan untuk menghindari patah hati dia harus membuat Gibran mencintainya juga.
"Oh, Gibran kamu makan lagi?"
Suara itu membuyarkan semua pemikirannya. Masih di posisi yang sama, ia melirik wanita yang sudah berani mengusik momen tentramnya bersama sang suami.
"Aku pikir kamu sudah kenyang setelah kita makan malam tadi."
"Saya tidak boleh menyia-nyiakan makanan, Lusi."
Ia tak bisa menahan senyumnya untuk tak keluar. Menegakkan tubuhnya, ia tersenyum manis pada klien suaminya ini. "Apa kamu mau bergabung, Lusi?"
"Tidak perlu, Kayra. Lebih baik kamu saja yang makan."
"Ah benar," ia mengangguk setuju. "Aku sampai lupa untuk makan karena sibuk memperhatikan Gibran. Tolong maklumi itu, kami masih pengantin baru." ia menampilkan wajah tersipu malu-malu. Dari sudut matanya ia melirik Gibran, dimana pria itu terlihat tidak peduli dan kembali melanjutkan makan.
"Tapi, bisakah aku ikut duduk disini? Supirku mengabari baru berangkat kesini."
"Tentu, buatlah dirimu senyaman mungkin disini, Lusi!" terimakasih pada wajah cantiknya yang terlihat manis, sangat cocok untuk peran protagonis. Ia yakin dirinya terlihat begitu ramah sekarang.
"Apa kamu yang memasak ini, Kayra?"
Kalimat itu jelas mengandung sindiran. Ia yakin saat makanan ini datang Lusi pasti melihatnya. "Bukan..." memasang tampang sedih tidak lah susah baginya. "Seumur hidup aku belum pernah nyentuh kompor bahkan untuk buat kopi." Iyalah kan make mesin. "Tapi aku mau belajar masak kok, buat Gibran." ia menampilkan senyum terbaiknya. Berperan sebagai istri yang baik bukan hal sulit baginya. Ingat, dia seorang aktris papan atas.
"Gibran sangat beruntung." senyum terpaksa itu membuatnya tertawa puas dalam hati. Baru pembukaan saja Lusi sudah tidak bisa melawan lagi. Terlebih Gibran tidak memberikan dukungan dalam bentuk sekecil apapun itu. Ia pikir dia akan berperang dengan seru kali ini, tapi ternyata biasa saja. Lusi bukan apa-apa baginya.
"No, aku yang beruntung. Sangat beruntung karena menikah dengan Gibran."
Dia memang sangat beruntung menikahi pria ini. Selain memiliki naungan, ia juga mendapat perlindungan. Bonusnya, dia mendapat keluarga baru yang sangat ia impikan.
"Kalian terlihat sangat cocok. Ah, aku harus minta maaf karena sebelumnya pernah berpikir jika kamu hanya memanfaatkan Gibran untuk menendang segala isu yang menerpa-mu." Lusi menyunggingkan senyum kecilnya. "Jelas kamu tidak memiliki niatan seperti itu kan? Kamu jelas terlihat mencintai Gibran."
Ia salah, wanita ini tahu cara melancarkan serangan balik. Isu tersebut memang muncul di permukaan namun tak ia tanggapi. Membuat pernyataan pada publik pun hanya akan membuat presepsi baru muncul lagi. Akan selalu seperti itu dan dia terlalu malas menanggapinya. Atau lebih tepatnya, dia tidak mau bertambah stress.
"Banyak orang berkata seperti itu." Ia mengulas senyum tipis seolah dirinya tengah tersakiti sekarang. Padahal isu itu jelas benar, dia memang memanfaatkan Gibran. "Aku tidak bisa berbuat banyak sekarang. Asal Gibran percaya padaku, itu sudah cukup. Dan yang kamu katakan tadi benar, aku sangat mencintai suami-ku."
Uhuk!
Keduanya menoleh secara bersamaan pada Gibran yang baru saja tersedak itu. Tangan Kayra bergerak cepat memberikan gelas berisi air mineral.
"Berhenti bicara, kamu harus makan, sayang."
Nada penuh penekanan pada kata terakhir kalimat itu membuatnya tersenyum lebar. Ia tahu itu peringatan baginya, tapi dia merasa senang. Gibran terusik dengan kata-katanya tadi.
🍁🍁🍁🍁
To be continue
Halo guys, aku balik pagi ini. Adakah yang masih melek? Ini aku nulisnya rada merem gitu ya matanya jadi tolong dimaklumi kalau banyak salah.
Makasih udah baca cerita ini. Maaf agak lama up-nya, nunggu mood soalnya. Jangan lupa vote sama komen banyak-banyak!
See you...
ig: megathorn__
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck With Beautiful Princess
Romantizm[#5 Wiratama's] Datang ke club malam hingga mabuk berat bukanlah kebiasaannya. Malam itu, ia merasa patah hati mencoba mencari hiburan disana. Saudaranya -Regan- dulu kerap ke tempat maksiat ini, adiknya saja -Gava- juga melakukan hal yang sama. Mak...