Sebentar lagi masa kerja Vanta di Cafe akan selesai. Pegawai yang digantikannya akan kembali dari cuti melahirkan. Kalau diingat lagi, Alvin tahu dia bekerja di sana sebelum mereka berdamai. Ia sempat berprasangka buruk kalau Alvin bakal menyebarkan rumor tidak baik tentang pekerjaannya di kampus. Nyatanya, cowok itu tidak membahasnya sama sekali.
Dia memang masih melakukan keisengan pada Vanta, tapi semuanya bersifat personal. Nggak merambah ke mana-mana. Mungkin sebenarnya laki-laki itu baik. Hanya saja kurangnya kasih sayang keluarga membuat tingkahnya kadang-kadang seperti titisan dajjal. Bukan kadang-kadang sih jatuhnya. Kalau ulahnya dihitung dengan jari tangan sampai ke jari kaki bahkan nggak cukup.
Vanta yang sedang membersihkan meja-meja Café melirik rekan kerjanya, Kak Windy, yang seharusnya sudah pulang lebih dulu.
"Kak Windy belum pulang?"
"Nunggu kamu, Ta."
"Nggak pa-pa. Vanta sebentar lagi pulang kok. Cuma tinggal beres-beres aja." Karena sewaktu sakit Vanta terlambat mengabari tempat kerjanya, ia berjanji akan membersihkan Café sendirian hari ini sebagai kompensasi.
"Bener?" tanya Windy meyakinkan.
Vanta membalasnya dengan anggukan. Ia tersenyum, "Iya. Kakak duluan aja. Ini tinggal beresin alat bersih-bersih."
"Ya udah. Kamu hati-hati ya. Udah malem banget nih. Pulangnya sendirian lagi,"
"Tenang aja, Vanta nggak pa-pa kok. Dahh, kak."
"Dahh..." Windy melambaikan tangannya dan berbalik. Gadis manis itu menghampiri pacarnya yang sudah datang menjemput.
Melihat pemandangan itu Vanta sedikit iri. Sudah lama tidak ada seseorang yang memerhatikannya sedemikian. Ia merenung sejenak. Tidak lama kemudian menggeleng pelan.
"Sadar, Ta. Nggak boleh nyesel," gumamnya.
Setelah selesai berbenah, dia mengganti pakaian dan berpamitan pada pengawas Café.
Vanta merasa bergidik. Jalanan tampak lebih sepi dari biasanya. Ia berjalan dengan langkah cepat di trotoar. Takut kalau-kalau ada pria aneh seperti waktu ia ditolong Alvin. Bagus cowok itu lewat, kalau tidak Vanta pasti sudah diseret pria mesum waktu itu.
Samar-samar mendadak ia medengar teriakan. Vanta berusaha menajamkan pendengarannya, mencari dari mana arah suara berasal. Jangan sampai orang lain mengalami kejadian buruk seperti dirinya.
Sekali lagi jerit permintaan tolong terdengar. Ia segera berlari menuju arah suara.
"Pergi dasar brengsek!" Suara itu terdengar melengking. Suara seorang perempuan.
Tanpa pikir panjang Vanta terus mengikuti sumber jeritan. Hingga tak lama kemudian melihat seorang perempuan sedang berusaha melindungi diri dari seorang pria. Benar saja, kejadian serupa seperti yang pernah dialaminya terulang pada orang lain.
Berlari menghampiri, Vanta langsung memukul pria itu dengan tasnya.
"Heh lepas! Dasar gila!" omelnya.
Merasa terpojok, laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Pisau lipat! Dia menggerakan pisau lipatnya dengan membabi buta.
Vanta mencoba menghindar. Sementara perempuan yang ditolongnya berlari pergi begitu saja meninggalkannya di sana.
Betul-betul tidak tahu terima kasih.
Ketika ia menoleh ke arah perempuan tadi dan lengah, mata pisau milik laki-laki itu menggores lengan kirinya. Darah segar mengalir begitu saja. Ia memekik perih.
"Brengsek! Mesum sinting!"
Melihat Vanta terluka, pria itu panik dan segera melarikan diri dengan motornya. Vanta cuma bisa menghela napas kesal. Nahas sekali nasibnya malam ini. Darah yang terus keluar dari lengannya membuat ia lemas sejenak dan menjatuhkan badan berjongkok di jalan. Kemudian ia memutuskan untuk duduk di trotoar, beristirahat sebentar.
Bekerja di malam hari memang agak berbahaya. Tapi ia tidak pernah membayangkan kejadian buruk seperti ini akan menimpa dirinya. Ia tidak pernah memikirkan bagaimana cara mengantisipasinya. Bahkan dia tidak berani menghubungi mama atau Kak Oka saat ini.
Kalau mereka tahu Vanta terluka, bisa-bisa Vanta tidak diperbolehkan lagi untuk bekerja. Ia juga tidak ingin membuat kedua orang yang disayangi khawatir karenanya.
Rasa nyeri yang menyelekit membuat dia memegangi lengannya kuat-kuat. Di saat seperti ini siapa lagi orang yang bisa dihubunginya? Vanta tidak mau membuat kakaknya kerepotan.
Tiba-tiba terbesit seseorang dalam benaknya. Pelan-pelan ia membuka tasnya. Dikeluarkan ponsel dan dicarinya satu nama pada daftar kontak. Bibir bawahnya tergigit ragu sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi orang itu.
***
Belum terlalu lama Alvin duduk di sana. Tatapannya menerawang menembus cairan keemasan dalam gela. Membawa pikirannya kembali pada kejadian siang tadi. Getar ponsel di saku jinsnya bahkan tak ia hiraukan. Suara dentum musik dan sorakan riuh orang-orang tidak digubrisnya sama sekali.
Sempat terlintas untuk berhenti datang ke tempat seperti ini. Berhenti menjadi sosok yang sok hebat demi seorang gadis. Namun keyakinannya luntur seketika begitu melihat kenyataan yang sulit membuatnya untuk bernapas. Kenyataan bahwa tidak ada ruang untuk dirinya di hati gadis itu.
Miris. Berharap pada sesuatu yang tak pasti itu seperti menggenggam angin. Sebelum bisa menangkapnya, bahkan angin telah melewati celah-celah di ruas jarinya.
Tapi, tunggu dulu. Cowok itu hanya pacar saja kan? Persentase kemungkinan untuk meluluhkan hati Vanta masih ada. Dan seperti kata pepatah, selama janur kuning belum melengkung, dia masih boleh tancap gas.
Semangat Alvin sedikit bertambah. Memang datang ke tempat seperti ini terkadang dapat memunculkan ide-ide gila. Well, kalau pencerahan semacam itu saja sih tidak tergolong gila. Kecuali ia merencanakan sesuatu yang dapat mengancam keselamatan orang lain.
Dirasakannya ponsel yang sejak tadi bergetar. Sambil berdecak dia merogoh saku celananya. Ketika melihat nama yang tertera pada layar ponsel, bola matanya kontan membulat. Ia tak percaya dengan penglihatannya. Namun setelah mengerjap beberapa kali, dia yakin tidak salah lihat.
Buru-buru dia menekan tombol hijau pada layar ponselnya dan menempelkan ke telinga. "Kenapa, Van?"
"Lo... lagi di mana? Gue ganggu nggak?" tanya gadis itu dengan nada ragu.
"Nggak, nggak... Kenapa?" Alvin melompat turun dari bangkunya, memasuki toilet agar musik-musik berisik itu tidak terlalu mengganggu pembicaraannya. "Ada apa?"
"Gue bisa minta bantuan nggak?"
"Bantuan apa?"
Setelah Vanta menjawab singkat, Alvin tersentak. Dengan secepat kilat dia keluar dari toilet menerobos kerumunan pemuda yang sedang mengobrol.
Edo yang melihat Alvin berjalan ke arah pintu keluar segera menghampiri. "Mau kemana bro?"
"Cabut, Do."
"Loh, belom lama kita dateng masa udah mau cabut?"
"Ada urusan penting. Gue buru-buru banget, sorry ya."
Tanpa menunggu jawaban dari Edo, ia langsung keluar dan berlari ke tempat di mana mobilnya terparkir.
=== BERSAMBUNG ===
Hai, apakah masih ada readers lama berkeliaran di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]
RomanceSemula Vanta tidak tahu, kalau satu perlawanannya bakal menjadi masalah serius. Siapa sangka, cowok yang ditantangnya─Alvin─ternyata adalah penguasa kampus! Jadilah mereka musuh bebuyutan. Di mana ada Alvin, itulah saat paling buruk untuk Vanta. Ner...