#13 Panas Dingin (2)

13.1K 907 5
                                    

Alvin sontak menoleh ke belakang. Ia mendapati Nathan sedang berusaha menangkap tubuh Vanta yang terhuyung jatuh. Dengan sigap ia ikut menopang gadis itu.

"Kenapa dia?" tanya Alvin datar.

"Nggak tau, dari tadi kelihatannya dia nggak enak badan," jawab Nathan gemetar takut-takut.

"Bawa ke mobil gue, cepet."

Alvin segera menyelipkan tangannya di bagian belakang tubuh Vanta, mengambil alih untuk menggendongnya. Sementara Nathan mengikutinya dengan panik dari belakang.

Setibanya mereka di tempat parkir, Alvin menyuruh Nathan membuka kunci mobilnya. Dengan posisi kedua tangan yang menggendong Vanta tidak memungkinkan ia untuk melepas satu tangannya. Ketika pintu mobil terbuka direbahkannya cewek itu di jok mobilnya.

"Gue lupa, mobil gue cuma buat dua penumpang, jadi lo nggak bisa ikut. Dimana alamat rumahnya?"

Nathan menunjukkan keraguan pada wajahnya.

"Tenang aja, gue anter dia ke rumah dengan selamat. Gue tau daerahnya, cuma nggak tau letak pastinya,"

Karena Nathan hanya diam mematung, akhirnya Alvin meninggalkannya masuk ke dalam mobil. Nathan sendiri sebetulnya tidak tahu rumah Vanta. Tapi mulutnya kaku di depan Alvin, tidak bisa menjawab sama sekali.

"Ck! Lama!"

Ia menurunkan kaca jendelanya, "Lo masuk kelas aja nanti, nggak usah khawatir," Setelah mengeluarkan satu patah kalimat itu, Alvin menyalakan mesin mobil dan pergi meninggalkan Nathan yang masih terpaku di tempat.

Bagaimana Nathan tidak khawatir, sementara Vanta di bawa oleh orang yang jelas-jelas big enemy-nya. Nathan memerhatikan mobil Alvin sampai hilang dari pandangannya. Ia hanya bisa berdoa dan berharap Tuhan melindungi temannya.

Belum terlalu jauh dari kampus, Alvin menepikan mobilnya, "Ini harus gue bawa ke mana dia? Ck!" Ia berdecak melirik ke sisi kirinya.

Wajah Vanta kellihatan sangat pucat. Disentuhnya kening gadis itu dengan punggung tangannya. Panas. Dia pasti demam. Alvin memikirkan cara bagaimana ia bisa mengetahui rumah Vanta, sampai tiba-tiba pandangannya beralih pada ponsel di saku celana jins gadis itu.

"Sorry." Setelah bergumam singkat Alvin mengambil ponsel itu. Menempelkan jari telunjuk Vanta pada sensor pengunci di ponselnya. Ia mencari nomor Nathan pada daftar kontak, kemudian menelepon Nathan dari ponsel miliknya.

"Ha-halo?"

"Di mana rumahnya?" tanya Alvin tanpa basa-basi.

"Ng, gue nggak tau. Yang gue tau di daerah Albasia,"

"Ck! Tanya temennya yang biasa bareng dia, dong."

"Jessi?"

"Iya kali, gue nggak tau namanya. Buruan telepon tu cewek. Kalo udah, telepon balik ke gue."

Sambungan telepon langsung diputus Alvin. Ia hanya bisa menunggu sambil mengetuk-ngetuk jari telunjuknya ke stir. Sekitar lima menit, ponsel Alvin berdering.

"Gimana?" tanya Alvin tidak sabar.

"Jessi juga nggak tau. Dia pernah ke rumah Vanta, tapi nggak inget jalannya,"

"Ah, sial. Ya udah!"

"Jadi Vanta gimana?" suara Nathan terdengar khawatir.

"Gue bawa ke rumah gue dulu. Kalo udah bangun gue antar pulang,"

Lagi-lagi sambungan telepon langsung diputus Alvin. Nathan masih bingung bagaimana cara ia menjelaskannya kepada Jessi. Sewaktu ia menelepon Jessi untuk menanyakan alamat rumah Vanta, cewek itu berkata, "Kenapa lo nggak tanya sendiri?".

Setelah ia mengatakan kalau Vanta pingsan, Jessi langsung panik dan membom bardirnya dengan banyak pertanyaan. Sayang waktu itu Jessi masih di kelas, jadi ia tidak sempat mendengar jawaban dari Nathan. Saat kelas Jessi selesai, pasti cewek itu langsung mencarinya. Ia menghela napas panjang, kemudian bergegas mengikuti kelas terakhirnya.

***

"Den Alvin, itu temennya kenapa?" Wanita paruh baya itu menyambut Alvin ketika ia membopong Vanta keluar dari mobilnya yang sudah terparkir di halaman rumah.

"Pingsan, Bi. Bi Sum tolong naik ke atas, buka pintu kamar. Oh iya, bawain tasnya sekalian."

"Iya, Den."

Wanita yang dipanggil Bi Sum itu berjalan tergopoh mendahului Alvin. Bi Sum adalah salah satu asisten di rumah Alvin. Ia yang paling lama bekerja di rumah Alvin. Wanita itu bahkan sudah bekerja di sana sejak Alvin lahir. Setelah Bi Sum, yang mendapat rekor paling lama adalah Pak Ujang, tukang kebun di rumah Alvin. Seorang satpam yang berjaga di depan dan dua orang wanita yang tugasnya membantu Bi Sum masih belum terlalu lama bekerja di sana.

"Makasih, Bi," ujar Alvin saat ia sudah memasuki kamarnya kemudian merebahkan Vanta di ranjangnya.

"Ada lagi, Den Alvin?"

"Nggak, Bi Sum lanjutin aja bersih-bersihnya."

Bi Sum membungkukkan badan sedikit, setelah itu keluar dari kamar Alvin. Tidak lupa ia menutup pintu kamar majikannya. Bi Sum memang tidak banyak bertanya sejak Alvin SMP, sejak kejadian buruk itu menimpa putra tunggal majikannya. Terpukulnya Alvin pada kejadian tujuh tahun lalu membuat ia menjadi anak laki-laki yang dingin, tidak seceria dan selembut sebelumnya.

Alvin jadi sering keluyuran, pulang malam, kadang malah tidak pulang. Ia tidak pernah banyak bicara lagi di rumah, hanya seperlunya saja. Suasana di dalam rumah besar itu hampir menandingi Kutub Utara.

Bi Sum sangat menyayangkan hal itu. Sebenarnya ia merasa kasihan pada Alvin, tapi anak itu tidak mau membuka diri kepadanya. Namun apa lagi yang bisa diperbuat, dia hanya bisa memberikan perhatian yang mungkin tidak dianggap.

Terkadang wanita paruh baya itu berharap seseorang dapat mencairkan sebongkah gunung es yang mengkristal pada hati Alvin. Juga dapat mengembalikan keceriaannya seperti sebelum kejadian tujuh tahun lalu.

***

Alvin duduk di tepi ranjang, dilepaskannya satu persatu sepatu Vanta perlahan. Ia menatap gadis itu, disentuhnya lagi kening dan leher Vanta bergantian dengan punggung tangannya. Suhu tubuhnya masih panas. Kalau sampai nanti sore dia tidak bangun, mungkin Alvin harus membawanya ke rumah sakit.

Ia berdecak pelan. "Ni cewek ngeribetin aja. Jadi nyangkut di rumah gue kan. Mana temennya pada nggak tau rumah dia," celetuknya pada diri sendiri.

Beberapa saat ia duduk dalam diam di tepi ranjang, hanyut dalam termangu. Ia pernah mengantar Vanta pulang, tapi tidak berhenti tepat di depan rumah cewek itu. Seharusnya dia tahu cewek itu tinggal tidak jauh dari sana. Tapi tetap saja ia enggan mencari rumahnya. Dari pada mencari tanpa kepastian, lebih baik dibawa ke rumahnya. Buat apa bersusah-payah demi cewek itu.

Saat ia memandanginya, mata Alvin tidak sengaja terarah pada benda yang mengantung di leher Vanta. Sekilas berkilau, membuatnya mengerutkan dahi dan menunduk. Memerhatikan lebih jelas. Sebuah cincin perak dikalungkan pada rantai kalung cewek itu.

Cincin apa itu?

Terbesit rasa penasaran dari dalam dirinya. Namun sedetik kemudian dering ponsel mampu mengenyahkan rasa penasarannya.

=== BERSAMBUNG ===

Apa kabar semua? Semoga sehat-sehat aja ya.

Yuk klik tombol vote, gratis kok :)

Sampe sini masih pada benci Alvin nggak?

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang