Jessi sudah berada di tempat parkir ketika Vanta baru tiba. "Caelah... Helm baru ni ye?"
Vanta melepas helm dan membuka maskernya, "Gara-gara monyet satu itu tuh...."
Tawa terdengar dari mulu cantik sahabatnya. Lalu bertanya, "Tapi lo lancar-lancar aja kan kemarin?"
Bukannya prihatin, Jessi justru tertawa mendengar keluhan Vanta. Tidak ada teman yang sebaik Jessi di kampus. Lihat kan? Vanta dikerjain, malah disuruh cari pacar. Vanta curhat soal serangan Alvin, malah ditertawakan. Coba, di mana lagi dia menemukan teman macam ini?
"Lancar apanya?" Vanta menanggapi dengan cemberut. Sambil memasuki gedung fakultas mereka terus mengobrol.
"Pedekate-nya." Gadis itu menempelkan ujung-ujung kedua jari telunjuknya sambil nyengir ala kuda.
Diliriknya Jessi sekilas, Vanta mendesah dan berkata, "Ferdi itu emang baik. Ganteng? Belalang aja juga tau. Gue tertarik? Hm ... Gimana, ya? Gue suka sih ngobrol sama dia. Tapi, itu bukan berarti gue naksir dia. Justru dia terlalu perfect. Jadi, nggak ada perasaan lebih."
Jessi menganga mendengar penjelasan Vanta yang panjang lebar. "Lo nggak deg-degan gitu deket dia? Yakin nggak ada rasa apa-apa?"
"Kenalnya aja baru, gimana mau suka?"
"Dih, justru kan orang-orang biasa tertarik sejak pandangan pertama. Pas kenal baru ada dua kemungkinan. Antara tambah suka atau ngerasa nggak cocok. Lah, ini ..." Kalimat Jessi menggantung saking herannya. Padahal dia yakin seyakin-yakinnya kalau Ferdi itu tipe Vanta banget.
"Udah, nggak usah comblang-comblangin lagi. Mending bantuin tugas gue."
Mereka berjalan menuju lift. Menuju tempat yang sering disebut sebagai basecamp anak-anak jurusan DKV. Untungnya saat itu galeri dibuka. Jadi Vanta bisa mengerjakan tugas di sana.
"Ta," Jessi menyiku lengan Vanta setelah mereka masuk.
"Hm?" Vanta mengeluarkan isi tasnya dan duduk di salah satu kursi di ujung ruangan. Di sana hanya tersedia beberapa kursi dan meja kayu. Biasanya mahasiswa-mahasiswi lebih suka duduk di lantai ruang galeri. Lantai karpet bersih, siapa pun yang memasuki ruang galeri tidak diperkenankan memakai alas kaki. Semua sepatu harus diletakkan dengan rapi pada satu rak di dekat pintu.
"Liat deh, itu kan temennya Alvin."
Vanta mengikuti arah pandang Jessi. "Yang mana?"
"Yang baju kuning."
"Oh, iya."
"Jangan-jangan nanti orangnya..." Belum sempat Jessi menyelesaikan kalimatnya, napas kedua cewek itu tercekat di kerongkongan ketika melihat seseorang memasuki galeri.
ALVIN!
Jerit kedua gadis itu dalam hati.
Vanta dan Jessi langsung mengalihkan pandangan dari pintu masuk galeri. Vanta pura-pura sibuk mengeluarkan alat-alat untuk mengerjakan tugasnya, sementara Jessi merapikan apa yang dikeluarkan Vanta dari tasnya—kerja tim yang sangat baik. Mereka berharap cowok itu nggak melihat mereka. Mereka berharap saat itu jadi transparan bila Alvin menoleh ke arah mereka.
Alvin berbincang dengan beberapa temannya, belum menyadari keberadaan Vanta dan Jessi. Sampai tiba-tiba suara benda jatuh mengalihkan perhatian Alvin. Tidak sengaja Vanta menyenggol gunting yang ada di meja ketika ia mengeluarkan potongan-potongan karton. Bunyi berisik itu membuat Alvin menoleh ke arah mereka.
Ups.
Vanta meringis sendiri. Sedangkan Jessi menggigit bibir bawahnya dan menunduk mengambil gunting yang jatuh di lantai. Vanta yang cuma duduk diam berusaha mengatur napasnya, ia berusaha tenang dan mencoba untuk siap menghadapi segala risiko yang ada di hadapannya saat ini. Jantungnya berdegup kencang. Tidak berani menoleh sedikit pun ke depan. Ia membasahi bibirnya yang kering. Sebelum akhirnya memberanikan diri untuk melirik.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]
RomanceSemula Vanta tidak tahu, kalau satu perlawanannya bakal menjadi masalah serius. Siapa sangka, cowok yang ditantangnya─Alvin─ternyata adalah penguasa kampus! Jadilah mereka musuh bebuyutan. Di mana ada Alvin, itulah saat paling buruk untuk Vanta. Ner...