#47 Tell the Truth

2.1K 231 4
                                    


Hari ini rasanya waktu berjalan sangat cepat. Setelah puas bermain dengan Alvin cs, tahu-tahu langit sudah gelap. Benda bulat yang bersinar redup di langit mengintip dari balik awan. Ketika Alvin mengantar Vanta pulang, jarum jam bahkan menuju angka delapan.

"Thanks ya buat hari ini, hati-hati pulangnya," ujar Vanta saat mereka sudah harus berpisah.

Tiba-tiba cowok itu bergumam, "Gue jadi nyesel ambil skripsi cepet-cepet."

Seraya membuka sabuk pengaman, Vanta menatapnya heran. Bukannya bagus ya lulus cepat? Jadi nggak perlu lama-lama belajar dan bisa mulai bekerja.

"Kenapa?" tanya gadis itu akhirnya.

"Karena gue jadi nggak bisa lebih lama satu kampus sama lo."

Apa setelah ini Vanta harus pergi ke dokter untuk cek diabetes? Setiap kata dan perlakuan cowok ini seperti gula batu. Rasanya semua yang dilaluinya bersama Alvin nyaris sempurna. Cowok itu sungguh memperlakukannya dengan baik kali ini. Terlampau indah hingga perpisahan menjadi rasa takut terbesarnya. Tanpa sadar Vanta menggigit bibir bawahnya. Rasa grogi dan cemas yang tak berdasar tiba-tiba membaur.

"Jangan gitu, nanti lecet," Rupanya Alvin memerhatikannya. Mencondongkan badan, dia mengusap pelan bibir Vanta dengan ibu jari. "Kalo mau, sini, gue yang gigitin. Nggak bakal sakit."

Cowok itu lalu terkekeh melihat reaksi Vanta yang diam tegang dengan kedua pipi semerah tomat. Kenapa tadi dia bisa bersikap biasa saja waktu Alvin mengecupnya? Kenapa sekarang dia malah jauh lebih berdebar dibandingkan tadi??

Vanta aneh! Ke mana aja sih? Telat banget! Dia baru berdebar sekarang saat teringat ciuman pertamanya dengan Alvin. Dan itu sukses bikin jantungnya tidak bisa tenang di dalam sana.

"Lo nggak keluar lagi kan ntar malem?"

"Nggak, kan gue udah nggak kerja."

Cowok itu manggut-manggut. "Bagus. Kalo bisa sekalian jangan keluar-keluar dari pikiran gue juga."

Bukan cuma melebarkan bola mata, Vanta kontan menganga. Sejak kapan cowok ini jadi kang gombal?? Apa otaknya sudah korslet?

"Ish, cheezy tau nggak?!" Cemberut, tapi dalam hati mesem-mesem juga, luluh oleh ketampanan sang pacar.

Fix ini mah.

Dia kena serangan bucin akut tingkat dewa.

"Apa kita perlu pake panggilan sayang?" tanya cowok itu dengan cengiran khasnya.

"Norak ah!"

Alvin tidak peduli dengan kritik pedas Vanta karena dia malah melanjutkan, "My Lemon."

Bukan hanya kedua pipinya lagi, seluruh wajah Vanta sekarang sudah memanas dan melepuh. Dia lalu melirik cowok di sebelahnya dengan salah tingkah.

Ragu-ragu sebelum membalas, "... M-my Dajjal." Tangannya mencengkram tali tas erat menahan malu.

Sumpah, ini benar-benar memalukan! Protes, tapi masih tetap ikut memberi panggilan.

Namun Alvin tidak langsung bereaksi. Hening.

Cowok itu mengerjap bingung dan bertanya, "Lah, kok Dajjal?"

"Karena dulu setiap hari gue selalu maki lo dalam hati, 'dasar iblis, titisan dajjal'. Jadi rasanya itu yang paling cocok."

"Jelek banget panggilan buat gue," Meski mengeluh, tetapi cowok itu terkekeh. "Ternyata gue sehina itu ya dulu."

"Lo sendiri, kenapa lemon?" Vanta tetap bertanya walau dia merasa sudah tahu jawabannya.

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang