#29 Bukan Pacar

2.8K 301 4
                                    

Vanta belum siap. Meski Alvin bilang semua terserah padanya, dia tidak sampai hati untuk menceritakan masalah keluarga Alvin pada Jessi semudah itu. Kisahnya sendiri saja tidak dia bagikan pada Jessi. Masa dia harus mengorbankan orang lain?

Beruntung waktu Jessi menelepon lagi semalam sedang ada Kak Oka. Kalau tidak Vanta akan jadi orang paling ember selama hidupnya, mengumbar masalah orang lain. Tapi bisa bertahan sampai kapan dia menghindari Jessi?

Semalam juga Mama malah meledeknya waktu tahu Alvin adalah kating menyebalkan yang pernah dia ceritakan.

"Kalau kamu mau mengenalnya, ternyata dia baik kan?" tanya Mama membuatnya salah tingkah.

"Kalian benci karena nggak kenal, dipertemukan dalam situasi yang nggak menyenangkan. Tapi kalau ada yang mengalah, semua bisa jadi lebih baik," lanjut beliau.

Mama memang orang yang berpikir positif, nggak seperti Vanta yang curigaan. Bahkan setelah Alvin dua kali menolongnya, dia masih berpikiran buruk pada cowok itu. Mau bagaimana lagi, habis tingkahnya waktu itu suka bikin Vanta kesal ke ubun-ubun.

Yah... tapi, Vanta akui laki-laki itu memang berubah. Tadi pagi dia juga menjemputnya ke kampus. Padahal Alvin ada kelas pagi, dan dia selesai lebih dulu. Tapi katanya dia menunggui Vanta sampai kelasnya selesai. Berjanji akan mengantar pulang. Hanya karena lengannya terluka, cowok itu merasa bertangung jawab. Ia jadi merasa tidak enak merepotkan Alvin lebih dari ini.

Perubahan Alvin yang spontan terkadang membuatnya tak percaya.

Sambil melamun dia menuju ke ruang galeri karena cowok itu menunggu di sana. Alvin terlihat sedang mengobrol dengan beberapa kating lainnya yang bukan merupakan teman satu gengnya.

Karena merasa tidak enak untuk memanggil duluan, ia memutuskan untuk melihat-lihat karya di galeri seperti biasa. Meski sudah berkali-kali, tapi dia belum bosan. Lukisan malaikat dan black rose selalu masuk dalam daftar prioritasnya.

Dengan semangat kepalanya berputar cepat ke arah lukisan itu, letak yang sudah sangat dihapalnya. Setiap kali melihat lukisan black rose ia tidak bisa berhenti berdecak kagum dalam hati.

Vanta yang sedang mengamati lukisan terkejut ketika Alvin menepuk pundaknya pelan. "Kok nggak manggil kalo mau pulang?"

"Itu... tadi lo lagi ngobrol. Jadi gue nggak enak."

"Yuk, mau pulang belum?"

"Pantesan tadi subuh ujan deras banget. Ternyata ini penyebabnya," celetuk salah satu kating berkaus coklat yang Vanta tidak kenal siapa.

"Ehem! Alvin, ceritanya ada main nih sekarang sama enemy-nya?" Cowok lainnya yang barusan mengobrol dengan Alvin menimpali.

Senior mana sih yang nggak tahu kalau Vanta itu tadinya bahan bully-an Alvin? Apa lagi mahasiswa-mahasiswi DKV yang satu angkatan dengan dia. Berita tentang penindasan cowok itu pada adik tingkatnya bukan hal asing lagi.

Alvin cengengesan, pura-pura mengelak. "Main apa nih maksudnya?"

"Alahh, nggak usah sok polos lo!"

"Wah, gue kan emang polos."

"Tae! Liatin aja! Besok juga si Nathan lo kerjain lagi di kelas."

"Nggaklah... udah nggak seru lagi itu sih. Sekarang ada yang lebih asik," kilah Alvin, tersenyum lebar sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

"Gaya lo nying! Emang ada yang bisa bikin Alvin si raja bully berenti ngerjain anak orang?"

Alvin melirik Vanta di sebelahnya yang sedari tadi hanya menjadi penonton. Gadis itu menyipitkan mata menatapnya tajam. Kalau boleh menebak, pasti dia mau protes soal Nathan. Sambil masih menyunggingkan senyum penuh arti, Alvin menarik gadis di sebelahnya mendekat.

"Ada dong, karena gue udah temuin yang lebih seru." Kemudian mencium puncak kepala Vanta hingga cewek itu terbelalak kaget dan tentu saja mendidih.

Singkat, tapi cukup membuat jiwa Vanta keluar sesaat.

"Gue cabut dulu woi," celetuk Alvin sambil menggandeng gadis itu keluar.

Sementara orang-orang yang ada di ruang galeri sempat melongo sesaat melihat sikap Alvin yang jauh berbeda dari biasanya.

"Mereka jadian?" tanya cowok berkaus cokelat yang pertama meledek Alvin. Entah pertanyaannya ditujukan untuk siapa, dia bicara pada diri sendiri.

Tetapi temannya merespon. "Nggak tau. Iya, kali?"

"Gilaa... Sejak kuliah di sini gue baru liat Alvin bisa begitu sama cewek."

"Iya, ya. Cewek cakep model Cia yang hot aja dia kulkasin. Padahal Cia oke banget weh body-nya."

"Selama ini kan Alvin yang dikejar, mungkin jadi nggak menantang. Lebih seru yang sulit didapatnya dari pada ambil apa yang udah ada di depan mata. Kayak game loh, ada stage-nya."

"Otak lo game melulu!"

***

"Lo apaan sih, Vin?" Vanta berdecak ketika mereka memasuki lift.

"Kenapa?"

"Depan temen lo kayak gitu, ntar kalo pada salah paham gimana?"

Alis Alvin terangkat sebelah, pura-pura tidak mengerti. "Kenapa emang?"

Beneran ni si kamvret. Malah kenapa-kenapa aja, anyir. Bukan cuma perkara salah paham, tapi hampir aja Vanta mati gara-gara lupa berdetak ini jantung saking syoknya. Harus berapa kali dia alamin kejut jantung setiap bareng Alvin?

Karena Vanta tidak merespon, cowok itu bertanya, "Lo udah punya cowok?"

"Kenapa tiba-tiba jadi nanya begitu?"

Cowok di sebelahnya hanya mengangkat alis tinggi-tinggi sambil mengendikkan bahu. Bikin Vanta pingin garuk muka gantengnya yang merasa tanpa berdosa itu.

"Gue emang nggak punya pacar, tapi bukan berarti lo bisa seenaknya."

Vanta tidak punya pacar, titik. Hanya informasi itu yang ingin didengar Alvin. Jujur saja dia sengaja melakukannya tadi. Kalau gadis itu sudah ada yang punya, dia pasti akan langsung marah dan membahas aturan-aturan berpacaran yang tidak ada dalam kamus mana pun.

Lalu kata-kata selanjutnya menjatuhkan Alvin. "Kita aja bukan pacar." Luwes memang mulutnya Vanta kalau bicara. Orangnya kelewat jujur, sampai bikin mood Alvin tiarap tanpa tedeng aling-aling.

Jlebnya itu loh, di sini.

Akhirnya dia hanya bisa menghela napas, mengelus dada. Sepertinya perjuangan untuk mendekati gadis itu masih panjang.

=== BERSAMBUNG ===

Gimana rasanya kalo gebetanmu mempertegas status seperti Vanta? :"D

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang