#58 D-Day

3K 240 4
                                    

Vanta melirik kalender meja yang bertengger manis di atas lemari nakas kamarnya saat sedang merapikan kamar. Sudut-sudut bibirnya mengembang melihat satu tanggal yang dilingkari spidol biru muda dengan tulisan D-Day. Hari kelulusannya.

Empat tahun sudah, Vanta menempuh bangku kuliah. Selama itu dia hanya sibuk berkarya. Sedangkan tiga setengah tahunnya terbagi untuk menghabiskan waktu mengenang seseorang yang amat penting dalam hidupnya.

Bertahun-tahun dia larut dalam kesedihan dan kesepian. Penyesalan tak urung datang dalam mimpi-mimpinya. Namun kini, ia mulai bisa menerima. Kiranya biarlah semua yang pernah dilaluinya bersama laki-laki itu menjadi kenangan berharga dan bukan sesuatu yang harus disesali.

"Ta, jadi ke kampus?" panggil mama membuka pintu kamarnya.

Vanta segera menoleh menyadari kehadiran ibunya. "Jadi, Ma. Hari ini ambil toga."

Setelah melewati berbagai proses seperti revisi dan pencetakan buku jurnal tesis pasca sidang skripsi, akhirnya hari di mana dia harus melepas almamater segera tiba. Mengenakan seragam kebanggaan pada acara yang diadakan di bulan terakhir tahun ini.

"Ya udah, sarapan udah Mama siapin, ya. Hati-hati nanti berangkatnya. Mama berangkat duluan."

"Oke, Mama juga hati-hati, ya ...."

Selepas mama berangkat, Vanta memutuskan untuk mandi dan bersiap ke kampus. Namun sebelumnya, dia memeriksa grup chat angkatannya lebih dulu. Memastikan dia tidak salah hari. Kalau ada perubahan jadwal, malas banget dia harus mondar-mandir ke kampus yang jaraknya lumayan jauh dari rumah.

Jadwal tidak ada yang berubah. Semua sudah oke. Tinggal berangkat kalau begitu. Tinggal sebentar lagi menjelang wisuda.

***

"Wah, udah musim dingin lagi aja." Seorang gadis berambut sebahu menggosok-gosokkan kedua telapak tangan yang berbalut sarut tangan wol. "Lo jadi balik Indo? Bareng dong, Vin ..." Gadis itu menepuk bahu lelaki di sebelahnya.

Udara di Toronto terasa sangat dingin pada akhir tahun. Jalan dan pepohonan sekeliling mereka juga telah diselimuti warna putih yang lebat akibat tumpukan salju.

Dengan wajah tak acuh, Alvin bertanya, "Bukannya lo betah di sini?"

Gadis itu menoleh padanya dan memberengut, berusaha menjejalkan isi pikirannya pada Alvin. "Seakrab-akrabnya sama mahasiswa lintas negara, tetep aja kampung halaman tuh bikin kangen! Liat aja, paling nyaman pake bahasa sendiri 'kan?"

"Terserah, asal jangan ganggu plan gue."

"Ish, masih kaku aja lo sama gue!" Teman perempuannya pun menyiku keras lengan Alvin. "Padahal lo paling deket sama gue. Sampe dibilang kita pasangan serasi dan lo nggak pernah nyangkal."

Cowok itu mendengkus menahan senyum. "You know the reason."

"Iya, gue tau! Apa lo nggak mau coba pacaran sama gue betulan? Gue kan cantik, lucu, dan menggemaskan." Gadis itu menghentikan langkahnya menghadang Alvin. Sebelah telapak tangannya menempel di pipi, bergaya imut sambil berkedip-kedip ke arah Alvin menunggu jawaban.

Alvin ikut berhenti karena gadis itu menahan sebelah lengannya. Yuna, salah satu teman Indonesia-nya di kampus adalah orang pertama yang menjadi temannya di Toronto. Sekaligus penyalur Indomi dan berbagai makanan instan Nusantara yang sulit di temukan di sana. Setiap kali kembali dari Indonesia, Yuna memenuhi kopernya dengan sambal, makanan instan, sereal, juga berbagai makanan kemasan Indonesia lainnya. Sudah seperti orang yang siap berdagang.

Sifatnya yang ceria, lucu, cuek, dan blak-blakan cukup menyenangkan. Gadis itu juga cerdas, membuatnya teringat akan seseorang dengan mulut luwesnya.

"Harus, ya?" tanya Alvin memandang tepat pada manik matanya.

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang