Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu, Vanta mulai tidak mempermasalahkan perlakuan Toto. Semerdekanya dia saja, mau bagaimana. Kadang menjemputnya, kadang mengantarnya, kadang mengajaknya hang out. Sampai pada suatu titik, muncul juga rasa bersalah dalam benaknya.
Apa dia terima saja?
Tapi, apa Vanta punya sedikit saja rasa suka terhadap cowok itu?
Rasanya jahat sekali membiarkannya berada dalam hubungan tanpa status berlarut-larut. Namun, Vanta sendiri belum yakin maunya apa dan bagaimana. Berkali-kali dia memikirkan pernyataan Toto. Berharap dapat menemukan jawaban atas persoalannya.
Mungkin doanya didengar dan terkabul, hingga di Minggu siang ketika Vanta membereskan lemari pakaian, pandangannya menangkap sesuatu yang tak asing. Kaus hitam dan hoodie abu-abu dari Alvin. Membawanya kembali pada kenangan tiga tahun lalu.
Bulir air mengalir turun begitu saja dari sebelah sudut matanya. Seolah mempertegas perasaannya saat itu. Vanta mungkin bisa mengelak dari orang-orang di sekitarnya. Tapi dia tidak bisa memungkiri perasaannya sendiri.
Dia rindu cowok itu.
Dia kangen Alvin. Sangat!
Ketika teringat akan lelaki itu, seakan perpisahan mereka baru terjadi kemarin. Masih jelas dalam ingatannya sosok Alvin yang usil dan sering mengganggunya. Permusuhan mereka, perdebatan mereka, kebersamaannya dengan Alvin, serta hal-hal menyenangkan lainnya bersama cowok itu tidak akan terlupakan.
Vanta semakin terisak. Tiba-tiba dia ingin bertemu lagi dengan Alvin. Andai waktu itu dia tidak memutuskannya dengan cara yang salah, mungkin mereka tetap bisa berkomunikasi meski berjauhan.
Diraihnya hoodie abu-abu milik Alvin perlahan dan dikeluarkannya dari lemari. Vanta memeluk kain tebal itu erat-erat, menekan rasa rindunya yang sia-sia. Sekarang, dia harus memperjelas semuanya dengan Toto. Jangan sampai ia membuat kesalahan lagi kali ini.
***
"Tumben, lo ngajak ketemu duluan?" tanya Toto, ketika mereka sudah berada di salah satu kedai bubble tea yang tidak begitu jauh dari rumah Vanta.
"Ada yang mau gue omongin." Vanta meliriknya ragu.
Dari gerak-gerik gadis itu, Toto berusaha meneliti. "Good or bad?"
Pertanyaan dari Toto semakin membuat Vanta gelisah. Tak kuasa menggigit bibir bawah bagian dalamnya. "Gue ... udah coba pikirin lagi," katanya tanpa menjawab pertanyaan Toto. "Tapi kayaknya gue tetap nggak bisa begini. Gue semakin ngerasa nggak enak."
Cowok yang duduk di depannya menatap diam sejenak. Lalu tersenyum tipis. Menggenggam gelas minumannya dengan kedua tangan.
"Ternyata bad news ya," ucap Toto. Masih dengan wajah tenangnya.
Namun Vanta tahu, sebelum dia mulai menjelaskan, kalimatnya barusan sudah mengecewakan lelaki itu. Vanta mematahkan harapan yang telah dia ciptakan sendiri untuk Toto. Sekali lagi, Vanta menghancurkan perasaan seseorang.
"Sorry ... gue nggak mau liat lo begini terus di deket gue. Tapi gue juga nggak mau jalan sama lo hanya karena rasa bersalah. Terlalu nggak adil buat lo. Kalo gue biarin ini terlampau jauh, malah kesannya gue nggak tau diri udah manfaatin lo."
Cowok itu memandangi minuman dalam gelas plastik transparan khas bubble tea. Tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya menjawab, "Yahh, gue yang suka rela dimanfaatin, kok. Tapi rupanya gue tetap kalah."
"Sorry, To ..." Perasaan Vanta sendiri serasa ditusuk-tusuk saat mengatakannya. Tidak suka bukan berarti tak punya hati. Dia juga bisa merasa empati.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]
RomanceSemula Vanta tidak tahu, kalau satu perlawanannya bakal menjadi masalah serius. Siapa sangka, cowok yang ditantangnya─Alvin─ternyata adalah penguasa kampus! Jadilah mereka musuh bebuyutan. Di mana ada Alvin, itulah saat paling buruk untuk Vanta. Ner...