#52 Reason

1.8K 197 13
                                    


"Tebak, di tempat magang gue ketemu siapa?!"

"Siapa?" Gadis di depannya bertanya dengan nada datar.

"Kan gue bilang tebakkk," sungut Vanta, berusaha mengambil alih perhatian Jessi yang sibuk mengatur arah ponsel dan gaya untuk mengambil foto selfie.

"Udah bilang aja, gue nggak bakal tau siapa."

Vanta langsung berdecak sebal. Tetapi dia tetap berseru, "Toto, Jess! Toto!" Dengan mata membelalak dan intonasi suara histeris. Tidak lupa gerakan-gerakan tangan pendukung kehebohannya.

"Hah?!" Si cantik Jessi yang kini mengecat rambutnya menjadi ombre fuschia pink di bagian ujung rambut itu seketika meletakkan ponsel di meja. Menatap Vanta lurus-lurus.

Dua gadis jelita tersebut sedang nongkrong cantik di kedai kopi terkenal yang menjamur di setiap kota besar. Vanta dan Jessi sudah jarang bertemu di kampus karena Jessi sibuk menyusun skripsinya. Sudah tidak banyak jadwal perkuliahannya.

"Tebak lagi, apa nama panjang Toto?"

"Alvianto Firdaus," tembak Jessi langsung.

"Lah?! Kok lo bisa tau??"

"Tata, siapa sih yang nggak kenal Toto di kampus pas masa kuliahnya? Cuma lo doang, kayaknya."

"Ih, masa iya dia sebegitu tenarnya? Lo juga taunya karena—"

"Kan, kan ... mulai." Jessi tak segan menyela kalimat Vanta yang sudah tahu ujungnya apa. "Dibilangin nggak percaya. Lagian kenapa emang sama nama dia? Keinget mantan?"

Omongan asal ceplos Jessi sukses menciptakan tekuk di wajah Vanta. Membuat Jessi dalam sekejap jadi terserang rasa bersalah. Dia jadi teringat cerita yang baru diungkapkan Vanta setelah kepergian Alvin.

***

Katanya, dia benci Alvin. Katanya, dia nggak serius sama cowok itu. Lantas, kenapa selama beberapa bulan terakhir sahabatnya ini seperti kehilangan raganya setiap hari? Sibuk melamun, menekuk wajah, juga cemberut. Tidak ada lagi binar semangat di wajahnya.

Jessi jelas tahu, ini bukan karena cemooh dan gunjingan para kating pada Vanta. Nyatanya, Vanta kelihatan sama sekali tidak peduli soal itu.

"Ta, ini udah ganti semester. Alvin udah pergi. Apa lo masih nggak mau cerita juga sama gue?"

Sayangnya, yang ditanya tidak menyahut sedikit pun.

"Lo nggak mabuk kan waktu party Andre dulu? Jelas-jelas lo nangis waktu pulang dari sana."

Vanta cuma melirik keluar jendela kantin. Setiap kali Jessi membahas topik ini, dia pasti mengalihkan, atau malah tidak mau jawab seperti sekarang. Selama ini Jessi sudah cukup bersabar menahan diri dan membiarkannya. Tapi melihat sahabatnya terus bersikap aneh begini berbulan-bulan, siapa yang tidak emosi? Capek-capek bertanya sampai mulut berbusa tapi tidak ditanggapi. Seperti bicara dengan patung Pancoran.

"Ada apa sih sebetulnya?" desak Jessi lagi.

"Besok lo ada kelas nggak?"

Bagaimana Jessi tidak meledak jika pertanyaannya sekali lagi dialihkan. Dia membelalak geram dan berbicara dengan nada tinggi. "Ta, lo anggep apa sih gue selama ini? Tau nggak, lo tuh nyaris nggak pernah cerita apa-apa sama gue. Sementara lo tau banyak tentang gue, temen-temen gue, keluarga gue. Lo juga yang sering ke rumah gue. Sedangkan tiap gue mau mampir ke tempat lo, selalu ada aja alasan yang bikin gue cuma berakhir nganter lo pulang. Gue itu temen lo bukan sih?"

Vanta terhenyak menatap Jessi. Rautnya berubah makin suram. Matanya yang terasa panas mulai berkaca-kaca.

Jessi yang melihat perilaku sahabatnya kontan terkejut dan melunak. Dia mendadak panik. "Hei, kenapa Ta? Sorry, gue bukan bermaksud marah sama lo,"

Pandangannya mengabur, air mata Vanta mulai luruh. Beberapa bulan yang dilaluinya terasa semu. Vanta tidak bisa menjawab saking sibuknya dia dengan tangis yang membasahi pipi. Akhirnya, siang itu Jessi mengantar dia pulang.

"Waktu Alvin di Jambi, Bokapnya minta tolong gue bujuk Alvin buat lanjut study karena Alvin satu-satunya penerus beliau." Di rumahnya, Vanta kemudian mulai bercerita penyebab dia memutuskan Alvin.

Jessi sempat bertanya-tanya, bagaimana ayahnya Alvin bisa kenal Vanta? Tapi dia memilih diam mendengarkan cerita Vanta lebih dulu.

"Awalnya gue cuma mau bujuk dia pelan-pelan. Tapi waktu pulang dari Jambi, dia bilang dia pingin cepet-cepet kerja karena gue, nggak ada niatan untuk lanjut kuliah. Dia minta gue hidup sama dia setelah gue lulus." Air matanya kembali mengalir deras. "Itu ... artinya dia mau lamar gue kan, Jes?"

"Umm ... congratulations?" jawab Jessi terdengar konyol.

Di dalam kamar Vanta, Jessi setia menemaninya sambil sesekali mengelus punggung Vanta saat gadis itu kembali terisak.

"Gue tau, dia bakal ngotot nggak mau pergi kalo gue cuma suruh dia lanjut S2. Gue nggak bisa bilang ini permintaan bokapnya, karena takut dia marah ke Beliau. Gue takut kalo pengorbanan dia buat gue malah salah. Gue takut hubungan dia sama bokapnya yang baru aja membaik malah hancur karena gue."

Sebut saja Vanta bodoh, dia tidak peduli. Dia hanya tidak ingin meruntuhkan keharmonisan yang susah payah mulai dibangun antara ayah dan anak itu. Pertalian yang ia turut andil dalam menghubungkannya.

"Apa bokapnya nggak setuju lo berhubungan sama Alvin?"

Vanta menggeleng dengan pipi yang basah. "Nggak. Bokapnya baik. Baiiik banget! Beliau malah nawarin untuk ikut program beasiswa di tempat yang sama kayak Alvin nanti kalo gue mau. Tapi buat gue, itu terlalu berat. Gue harus siap kerja setelah lulus."

"Terus, alasan itu yang akhirnya bikin lo ngelepas Alvin?" Jessi mengambil tisu di atas meja belajar. Memberikannya pada Vanta.

"Kalo misal dia mau pergi tanpa paksaan pun, gue ngerasa nggak siap LDR. Gue terlalu pengecut, Jes."

Vanta lalu menceritakan kegagalan hubungannya dengan Leo dulu, yang menjadi akar dari trauma hubungan jarak jauh meski sebetulnya mereka hanya berbeda kampus. Bercerita tentang Clarisa yang membuat dia mengalami trust issue, gunjingan semasa SMA, permasalahan kedua orang tuanya yang menyebabkan perceraian, juga tentang Vanta sebenarnya telat setahun mengikuti kuliah karena harus bekerja setelah lulus SMA.

Di pertengahan ceritanya, Jessi ikut menangis. Tidak menyangka sahabatnya pernah melalui hari-hari yang berat. Wajar bila gadis itu sulit bercerita padanya mengingat pengkhianatan sahabat yang pernah dialami Vanta.

Sementara Vanta, sisi pengecutnya lebih kuat sehingga ia terlalu takut untuk menunggu atau sekadar berharap. Ribuan kali dia berlatih untuk mengucapkan kata putus dengan sempurna. Hingga tiba di mana ajakan pesta ulang tahun Andre. Alkohol pun kemudian menjadi jalan keluar baginya, berpura-pura mabuk.

Dia sama sekali tidak peduli pada tanggapan orang-orang. Yang dia pedulikan hanya masa depan Alvin. Vanta merasa tidak seberharga itu untuk diperjuangkan oleh Alvin. Namun pada saatnya, semua masih terasa berat. Hatinya terasa dipelintir ketika harus membohongi lelaki itu.

"Ta, gue juga mau jujur sama lo," Jessi melipat bibirnya sambil meremat punggung tangan Vanta. Mepersiapkan diri untuk membuka satu-satunya rahasia yang selalu berusaha ia sembunyikan.

"Gue pernah cerita tentang cowok yang gue suka di kampus kan?" tanya Jessi, menatap Vanta serius. "Sebetulnya, cowok itu ...."

======================

Dan setelah 52 episode, akhirnya nama asli Toto terkuak.

Masih ada kah penggemar Toto?

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang