#53 Gamon?

1.9K 202 0
                                    


Siapa yang menyangka, dua tahun tidak bertemu dan lepas kontak, dia malah bertemu Toto—sohib mantan pacarnya—di tempat magang. Satu ruangan dan duduk sebelahan pula.

Ya, Vanta memang tidak berniat berhubungan dengannya. Mereka pernah bertukar nomor, tapi buat apa juga berkomunikasi dengannya? Mereka tidak seakrab itu, bahkan untuk sekadar mengirim pesan bertanya 'apa kabar?'.

Mereka juga bukan teman. Vanta kenal Toto hanya karena dia teman Alvin dan cowok itu beberapa kali membantunya dulu. Kali ini pun cowok itu ditugaskan untuk membantunya selama magang satu semester.

Entah Toto adalah orang yang berjiwa ksatria atau bagaimana, yang ada diingatan Vanta tentang elaki itu adalah selalu tentang bantuannya. Jika bisa mendeskripsikan Toto dalam satu kata, maka jawabannya adalah 'penolong'.

Termasuk kala itu. Ketika semua senior angkatan Alvin menatapnya dengan sorot sinis dan penuh penghakiman. Terang-terangan menggunjing di depannya perihal insiden putusnya dengan Alvin di acara ulang tahun Andre.

Padahal bukan mereka yang dihina. Padahal bukan mereka yang diputusin. Tapi bukan netizen namanya kalau tidak hobi ghibah dan ikut campur urusan orang lain. Sepanjang semester dua, Vanta berhasil menjadi musuh para senior semester delapan.

Satu-satunya orang yang tidak berubah sikap padanya cuma Toto, karena saat itu Alvin sudah lulus seperti apa yang diharapkan cowok itu. Oh iya, jangan lupakan Nathan. Kalau cowok itu pengecualian, sebab sudah menjadi sekutunya sejak awal.

"Najis! Sok iya banget! Mentang-mentang Alvin suka sama dia, jadi belagu banyak tingkah!"

"Alah, cewek kayak gitu mah paling nggak cukup satu."

"Dia udah pernah ngapa-ngapain kali sama Alvin, makanya bosen."

"Gue rasa mau money-nya doang dia. Alvin kan tajir,"

"Jablay cari sensasi doang itu mah."

Segala cibiran serta hujatan-hujatan lainnya tak jarang didengar ketika dia lewat di depan para kating. Saat itu, hanya Toto kating yang bersikap netral padanya—selain Nathan—dan mau repot-repot angkat suara untuknya.

"Kalian ngapain komentarin orang? Alvinnya aja udah nggak di sini. Kayak nggak ada kerjaan aja," sergah Toto membelanya—yang pernah disaksikan oleh Vanta secara langsung.

Vanta tidak tahu bagaimana cowok ini di belakangnnya. Ikut mencibirnya atau tidak. Yang pasti, dia sedikit lega karena masih ada orang yang tidak peduli dengan hubungannya dan Alvin.

Serasa mengulang masa SMA? Awalnya Vanta kira demikian. Tapi kali ini berbeda. Dia bisa lebih tegar. Mungkin karena taraf kenyinyiran mahasiswa berbeda dengan anak sekolah yang masih kekanakan main labrak dan tidak kenal waktu. Atau mungkin juga karena hal serupa pernah dialaminya. Yang jelas semua itu mereda ketika anak-anak semester delapan sudah mulai sibuk dengan segala urusan persidangan dan skripsi.

"Lo mau pesen apa?" Suara cowok yang berdiri di depannya seketika membuyarkan lamunan Vanta.

Tanpa ragu, Vanta menyahut, "Big Mac upsize kentang, minumnya ganti air mineral."

Setelah diskusi sengit yang sangat singkat mengenai makan siang, pilihan jatuh pada restoran fast food dekat kantor sesuai keinginan Toto. Bagaimana tidak singkat kalau lawannya mudah dijatuhkan?

"Bakmi!" seru Vanta ketika Toto menawarkan makan siang di luar.

Tapi katanya cowok itu lagi ingin makan-makanan cepat saji yang udah lama tidak dijamahnya. Hingga terjadilah negosiasi.

"Mekdi," tawar Toto.

"Soto!"

Bukannya Vanta anti dengan junk food. Lagi pula bakmi juga di mana letak sehatnya, sih? Cuma kalau boleh memilih, pastinya dia pilih makanan yang lebih murah. Sementara paket Mekdi yang paling murah tidak bikin Vanta kenyang.

"Mekdi." Pilihan Toto sama sekali tak berubah.

"Bakso!"

"Gue traktir."

"Okesip!"

Jadi, semurah itulah harga tawar-menawar mereka. Ralat. Semurah itulah tawar-menawar dengan Vanta. Asal ditraktir, dia setuju.

Sebetulnya Vanta sendiri bingung. Kalau dipikir-pikir, dia tidak harus menghabiskan waktu istirahat dengan Toto. Selama seminggu Vanta magang, mereka memang kadang pergi makan di luar dengan teman-teman kantor yang lain. Tetapi karena hari ini staf desain pergi meeting dan ruangan kosong-melompong, hanya menyisakan Toto yang harus jaga kantor, tiba-tiba Vanta mendapat ajakan makan siang.

Benaran deh, Vanta baru kepikiran. Padahal mereka tidak harus makan siang bersama. Mungkin Toto cuma kasihan sama dia yang masih baru magang di sana kalau harus melewati jam makan siang sendirian.

"Lo udah berapa lama kerja di sini?" tanya Vanta ketika mereka sudah duduk.

"Dari lulus. Gue juga magang di sini dulu."

Dan, kemudian hening.

Sialan.

Dulu waktu di kampus, katanya Toto ini tipe orang yang ramah dan banyak bergaul. Sehingga kenalannya hampir di semua jurusan. Bahkan sampai ada yang bilang dia itu ibarat lambe turah. Tapi buktinya, dari dulu di depan Vanta dia enggak pernah banyak omong.

Apa semua itu cuma gosip belaka? Pikir Vanta dalam hati.

"Gue baru tau nama lengkap lo." Sekali lagi gadis itu berusaha mencairkan suasana.

"Kenapa emang? Keinget mantan?"

Brengsek, brengsek ....

Kalau tahu bakal kena ledek, lebih baik dia tutup mulut rapat-rapat. Niatnya agar suasana tidak kaku, malah kena bully.

Melihat raut cemberut Vanta, cowok itu mendengkus geli berusaha menahan tawa. Dari wajahnya, Toto bisa menebak. "Gagal move on, hm? Kalo sayang kenapa diputusin kayak gitu?"

Enggak Alvin, enggak temannya. Mungkin karena kelamaan bergaul engan Alvin, atau karena namanya mirip. Mereka jadi punya sifat yang super menyebalkan.

"Wahh ... ternyata lo sekalinya ngomong nyebelin, ya?" desis Vanta. Kemudian menggigit burgernya dengan galak.

Manusia tampan di depannya tertawa lagi. Baru hari ini, Vanta lihat seorang Toto tertawa. Selama di kampus dulu dia tidak pernah memerhatikan pemuda itu. Sebenarnya di kantor juga. Tapi sekarang, saat dia benar-benar memerhatikannya, cowok itu punya lesung pipi di sebelah kiri saat tertawa.

"Ternyata lo emang tipe orang yang blak-blakan banget, ya?" balas Toto.

Berbeda dengan Alvin yang kalau bertutur senada dengan Vanta gaya bicaranya. Toto ini lebih halus tuturnya, tapi nyelekit. Sekalinya bersuara entah kenapa selalu tepat sasaran.

Maka, Vanta tidak mau repot-repot berkelit. "Iya, kalo sama orang resek."

Cowok di depannya tidak segan-segan tersenyum. Berikutnya mereka melanjutkan obrolan dengan topik sembarang selain pekerjaan kantor yang membuat keduanya sesekali tertawa. Tanpa Vanta tahu, sosok itu tengah melangkah maju mencoba menembus batasnya.

=== BERSAMBUNG ===

Q: Kapan endingnya?

A: Sedikit lagi menuju akhir, bersabar ya. Tolong maklumi aku yang hobi revisi

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang