#49 Dilema

2.1K 214 4
                                    


"Nggak ada yang ketinggalan kan?" Vanta berjalan sambil mencengkeram tali ranselnya. Sebelah tangannya yang lain memegang ponsel.

"Ada,"

"Pasti lo mau bilang gue yang ketinggalan," tebak Vanta dengan nada pongahnya. Sudah sangat hapal dengan kejayusan Alvin belakangan ini.

"Itu lo tau."

"Basi lo mah!" Meski mengkritik tetapi bibirnya menyimpan senyum tertahan. "Hati-hati ya ...."

"Jangan nakal lo, nggak ada gue," tukas Alvin dari ujung telepon.

Sesuai perkataannya tempo hari. Pemuda itu akan pergi ke kota Jambi merekam keindahan salah satu danau legendaris di Nusantara demi tugas skripsinya. Tidak semua sesuai rencana, karena Vanta tidak ikut bersamanya. Jadi, dia pergi mengajak Toto, Edo, dan Andre sebagai pengganti sang pacar.

Selepas ajakannya waktu itu, tanpa pikir panjang Vanta langsung menolak. Tega memang. Tapi buat Vanta yang selama ini keluar kota hanya sebatas Bogor-Bandung, kota Jambi terlalu jauh. Biaya tiket pesawat, penginapan, dan makan di sana pastinya tidak sedikit. Vanta nggak punya cukup uang untuk itu. Meski Alvin menawarkan akan menanggung seluruh akomodasi untuknya, rasanya itu terlalu berlebihan mengingat mereka belum lama pacaran.

Di samping itu dia juga nggak berani minta izin pada mamanya untuk bepergian jauh dengan laki-laki. Lagi pula, mau bilang apa dia kalau kak Oka menanyakan keberadaannya? Bisa-bisa dia digantung di pohon pisang kalau menginap dengan cowok.

"Harusnya gue yang bilang gitu. Jangan bikin ulah ya, di kota orang," sahut Vanta ketika menaiki tangga. Dia tidak ingin percakapannya didengar orang-orang dalam lift. Mumpung hari ini kelasnya cuma di lantai tiga, jadi anggap saja sekalian olah raga sedikit.

Terdengar kekehan pelan lelaki itu dari seberang. "Emang gue bakal ngapain?"

"Entah, lo kan dajjal."

"Masih aja ngatain gue, awas lo ntar kangen!"

"Ha-ha-ha!" Vanta sengaja menyuarakan tawanya dalam suku kata dengan nada yang super menyebalkan. "Kebalik kalii ...."

Helaan napas kemudian lolos dari mulut Alvin. "Iya nih, kayaknya gue bakal kangen lo banget selama di sana."

Tak ayal respons cowok itu membuat panas merambat naik ke wajah Vanta dan mengelak. "Pergi nggak sampe seminggu juga."

"Tiap hari aja gue selalu nunggu-nunggu ketemu lo. Gimana ini yang berhari-hari?"

Ah, perasaan apa lagi ini? Sampai-sampai bibir Vata kembali berkerut demi mencegah sumringah lebarnya. Untung mereka bicara di telepon. Kalau tidak pasti Alvin sudah bisa melihat wajahnya yang tersipu merah.

"Lo belum masuk pesawat?" Vanta lalu mengalihkan obrolan mereka.

"Oh iya, mau ni bentar lagi. Gue tutup ya teleponnya. Yang lain udah pada siap-siap."

"Oke, safe flight. Gue juga mau kelas."

"Bye, love." Telepon ditutup.

Vanta menjauhkan ponselnya dari telinga, membawanya ke depan wajah untuk dipandangi. Dia terdiam sejenak. Merenungi kata terakhir dari Alvin yang berputar di kepalanya.

Hmm ... apa katanya tadi? Love?

***

Dua hari berlalu sejak Alvin pergi ke Jambi. Suasana kampus dan hari-harinya terasa sepi tanpa cowok itu. Pulang dan pergi sendiri. Kehadiran Alvin selama ini ternyata berdampak besar untuknya. Vanta jadi bertanya-tanya, bagaimana nanti saat lelaki itu lulus? Apa dia akan merasa kesepian lebih dari ini?

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang