Pagi itu Vanta baru saja akan berangkat ke kampus ketika ia melihat mobil merah yang dikenalnya terparkir manis di depan rumah seperti kemarin."Mampuss gue! Dia beneran dateng!"
Kemarin Vanta menyuruh Alvin untuk mencari tahu semua jadwal kuliahnya. Dia pikir cowok itu akan malas menanggapi. Tapi kebalikannya, manusia aneh itu menjawabnya sebagai tantangan. Setelah beberapa saat mondar-mandir gelisah di dalam kamar, akhirnya ia menyerah. Diputuskan untuk keluar dan menghadapi cowok itu.
Jujur saja, ia masih belum tahu apakah Alvin benar-benar berubah. Sebagian dirinya ingin mencoba mempercayai apa yang dikatakan Alvin. Dia menyatakan damai selepas dari makam ibunya. Tidak mungkin kan, seseorang bermain-main dengan makam orang tuanya?
Namun di lain sisi, pikirannya berontak. Ini Alvin, loh! Alvin yang ituu, yang menganggapnya musuh, yang sudah menindasnya. Biar bagaimanapun dia tidak boleh lengah.
"Ngapain ke sini?" tanya Vanta seraya membuka pagar rumahnya.
"Jadwal lo hari ini, jam sepuluh. Harusnya setiap hari Jumat lo masuk jam delapan. Tapi mata kuliah lo hari ini dituker sama hari Kamis kemarin. Dan dari jam delapan dimundurin jadi jam setengah sembilan."
Cowok itu sukses membuat Vanta terperangah sambil menganga takjub.
"Sesuai janji 'kan?" kata Alvin lagi.
Tidak bisa mengelak, ia menghela napas. Mengunci pintu dan pagar rumahnya. Setelah itu barulah masuk ke mobil. Selama perjalanan keduanya terdiam, tidak tahu harus bicara apa. Sampai keheningan itu berubah saat Vanta menjajal peruntungannya.
"Boleh nanya nggak?" tanyanya hati-hati.
"Apa?"
"Sejak nyokab lo nggak ada..."
Belum selesai dia bicara, Alvin tiba-tiba mengerem mobilnya. Seiring dengan bunyi decitan rem, laju mobil itu pun mendadak berhenti. Tubuh Vanta hampir terlonjak membentu dasbor kalau saja tidak memakai sabuk pengaman.
"Sorry..." Ia mengigit bibir bawahnya sambil menatap Alvin takut-takut. "Harusnya gue nggak bahas itu."
"Bisa gue minta waktu lo satu hari ini aja?" pinta Alvin sungguh-sungguh.
Raut cowok itu seketika berubah. Pucat. Nanar. Seakan dia baru saja kehilangan sesuatu yang penting. Sesuatu yang berharga. Walaupun hal itu memang pernah terjadi sebelumnya. Tujuh tahun yang lalu.
Vanta tampak berpikir sejenak. Ragu, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
***
Mobil Alvin kini sudah berada di pantai yang letaknya cukup jauh dari rumah mereka. Pantai itu tidak terlalu ramai. Mungkin karena bukan akhir pekan atau hari libur. Lelaki itu memilih keluar dari mobil, berjalan menyusuri tepi pantai. Hingga mereka menemukan jajaran saung dan duduk di bawah salah satu saung bambu.
Cahaya matahari siang terasa terik sekali. Desiran ombak seringkali terdengar di antara keheningan dua orang yang tengah duduk membisu. Sudah cukup lama kedua orang itu terdiam. Tak ada satu pun yang berani memulai percakapan.
Alvin akhirnya menghela nafas berat. "Elo mau tanya apa?"
Tanya apa katanya? Nah, sekarang Vanta lupa. Apa yang ingin ia tanyakan tadi?
"Mmm... sorry kalo gue lancang. Nggak dijawab juga nggak pa-pa." Vanta menunduk memainkan pasir dengan kakinya yang terbalut kets. "Apa bokap lo... nikah lagi?"
Pandangan Alvin yang sejak tadi hanya menatap ke hamparan pantai sekejap beralih kepadanya. Sorot matanya bukan tersinggung, hanya sulit ditebak. Namun detik berikutnya, ia kembali membuang muka.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]
Roman d'amourSemula Vanta tidak tahu, kalau satu perlawanannya bakal menjadi masalah serius. Siapa sangka, cowok yang ditantangnya─Alvin─ternyata adalah penguasa kampus! Jadilah mereka musuh bebuyutan. Di mana ada Alvin, itulah saat paling buruk untuk Vanta. Ner...