#46 Hidden Truth

2.3K 223 13
                                    


Aroma kopi yang pekat memenuhi ruangan nuansa vintage bertembok bata. Di sisi lain dinding berbalut semen tergantung pigura-pigura retro senada. Suara musik mengalun berpadu dengan konversasi para pengunjung berpakaian rapi yang mengudara. Di samping ruangan pada barisan tengah, seorang gadis muda dan pria setengah abad duduk menyesap kopi masing-masing.

"Dia tidak pernah keluar larut lagi," ucap Raffael.

Vanta mendengarkannya. Tidak berniat menyela. Di depannya duduk seorang ayah dari sang kekasih. Tatapannya teduh, berbeda dengan Alvin yang selalu bertampang jenaka. Mungkin faktor usia dan pengalaman hidup yang membuat beliau bisa setenang ini.

"Dia kelihatan lebih bersemangat dan bahagia. Meski sebelumnya dia memang berprestasi, tapi dia tidak seantusias itu."

"Syukurlah kalau begitu. Saya berharap hubungan Om membaik," ucap Vanta sungguh-sungguh. Panggilannya berubah seiring dia tahu tujuan Raffael menemuinya sebagai seorang ayah.

Hari ini kedua kalinya Raffael meminta bertemu. Banyaknya, laki-laki itu bercerita. Menuangkan keresahan yang mungkin selama ini menghimpitnya.

"Saya sangat berharap demikian," katanya tersenyum.

"Tapi, boleh saya bertanya?" Vanta mencoba memberanikan diri. Sebab pertanyaan yang akan diberikannya bersifat pribadi dan sedikit sesitif. Sejujurnya dia merasa tidak pantas bertanya. Tapi, ini demi Alvin.

"Ya? Silakan."

"Apa Alvin ... punya saudara lagi?"

Pria itu mengangkat sebelah alisnya.

"Itu ... maksudnya ..."

Melihat keraguan dan kegugupan Vanta menyampaikan pertanyaan, Raffael tahu apa maksud gadis muda ini. Dia menggeleng tanpa rasa tersinggung.

"Kalau yang kamu maksud, apakah saya punya keluarga lagi, tidak. Saya tidak punya. Mamanya Alvin, adalah satu-satunya bagi saya." Raffael tersenyum membayangkan wajah yang benar-benar dicintainya sepenuh hati.

"Sepertinya, itu salah satu yang menjadi kekhawatiran Alvin," jelas Vanta.

Air muka beliau tampak kaget. "Begitukah?"

"Dia mungkin ... takut ditinggalkan. Meski dia kelihatan ketus, tapi... dia memikirkan Om."

Sorot maata Raffael berubah nanar. Dia menatap ke cangkir kopi dengan pandangan menerawang. "Dia membenci saya selama tujuh tahun."

"Karena Om tidak di rumah saat 'itu'? Apa ada kesalahpahaman? Dia bilang, Om nggak peduli. Tapi dari cerita Om dan cerita yang saya dengar dari Alvin, sepertinya bukan begitu."

Raffael memejamkan mata sejenak. Ada sarat lelah dan kesedihan terpancar di raut wajahnya. Beliau seolah sedang mempersiapkan diri untuk menarik ribuan duri yang telah menancap selama bertahun-tahun. Setelah satu tarikan napas, beliau pun akhirnya bercerita.

***

"Wah, kapan lagi gue bisa maen sama cowok-cowok populer jurusan DKV kalo bukan karena lo!" seru Jessi riang di area parkiran kampus.

Dua hari lalu teman-teman Alvin mengajak kumpul bersama. Tapi karena kedua gadis ini bukanlah jenis gadis yang akan masuk kelab, Alvin mengalihkan ajakan temannya menjadi pergi nonton bareng dan melakukan aktivitas lain saat langit masih terang. Tepatnya setelah ujian pagi Vanta selesai.

"Oi, Ta. Lo kenapa bengong?" tanya Jessi menepuk bahu temannya.

"Eh? Nggak pa-pa."

Vanta masih terngiang cerita Raffael kemarin. Tentang mama Alvin dan kesalahpahaman Alvin selama ini pada Raffael.

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang