#22 Jaminan

16.2K 649 78
                                    

Long time no see guys :)

***

Pukul enam pagi Vanta nyaris melompat dari kasur karena alarm dari ponselnya sudah menjerit nyaring. Ia mengerang pelan. Matanya belum ingin terbuka. Dia menutup telinganya dengan bantal, sementara sebelah tangan yang lain bergerak meraba ke sekeliling kasur mencari keberadaan ponselnya yang entah di mana.

Dia masih sangat mengantuk. Semalaman mengerjakan tugas dan sulit tidur karena memikirkan Alvin. Tapi panggilan berikutnya dari alarm berjalan tidak dapat dielaknya. Ia harus bangun mendengar suara satu ini.

"Ata, bangun. Nanti kamu kesiangan, Sayang. Mama berangkat jam setengah delapan, loh."

Setelah mengalami pergumulan dengan bantal, guling, dan tempat tidur, akhirnya dengan malas Vanta bangun. Mencari-cari ponselnya yang masih saja terus menjerit riang tanpa memedulikan sang pemilik.

Gadis itu berusaha memasang telinganya sambil menyingkirakan bantal, selimut, dan barang-barang lain yang berserakkan di kasur. Tapi tetap tidak ditemukannya. Dia kemudian diam sejenak. Ditengoknya kolong tempat tidur. Benar saja, ponselnya terjatuh di sana. Setelah alarm berhasil dimatikan, ia mengambil handuk, langsung melangkah keluar kamar.

Dengan sedikit menyeret langkahnya, Vanta berjalan ke kamar mandi. Tepat sebelum masuk, Mama tiba-tiba memanggilnya.

"Eh Ta, kamu nanti gimana perginya? Kemarin kan motor kamu ditinggal di rumah Jessi?"

Waduh.

Kemarin terpaksa dia bohong kepada Mama kalau motornya ditinggal di rumah Jessi karena main ke sana sampai larut. Kemudian supir Jessi yang mengantarkannya pulang. Sekarang ia harus mengarang apa lagi? Kalau dia bilang Jessi akan menjemputnya, tapi nanti tiba-tiba Alvin datang sebelum Mama berangkat, mau jawab apa dia?

"Dijemput temen, Ma," jawab Vanta sekenanya.

"Dijemput siapa?"

"Ng... itu..." Vanta mau bilang Nathan yang akan menjemputnya, tapi nggak mungkin. Mama tau kalau Nathan ke kampus aja bahkan naik ojol atau bus.

"Ada temennya Jessi."

"Temennya Jessi? Kok jemput ke sini?"

"Iya dia temen baiknya Jessi, orangnya memang gitu suka direpotin," jawab Vanta berasalasan. Yah Alvin teman Jessi juga kan? Satu kampus. Meski tidak saling kenal.

"Rumahnya memang di mana? Nggak apa-apa direpotin gitu?"

"Kemarin soalnya main sama dia juga. Ata mandi dulu ya Ma, nanti kesiangan. Maih mau beresin peralatan kuliah abis ini."

"Iya, iya...," sahut Mama kemudian.

Cepat-cepat Vanta menutup pintu kamar mandi dengan irama detak jantung yang berdegup kencang. Dia nggak mau Mama tau soal Alvin. Semoga nanti Mama pergi lebih dulu sebelum cowok itu datang.

***

Selesai mandi dan sarapan, Vanta membereskan peralatan gambarnya ke dalam tas. Menggulung kertas sketsa ke dalam tabung, tak lupa penggaris sepanjang enam puluh senti meter untuk mengerjakan tugas di kampus.

Dia melirik jam di ponselnya, memikirkan ulang kata-kata Alvin kemarin. Apa cowok itu benar-benar akan menjemputnya? Kalau dia bohong gimana? Sengaja supaya Vanta menunggu dan telat ke kampus. Gelisah juga dia menunggu tanpa kepastian. Apa lagi tidak punya nomor kontak atau media sosial lelaki itu.

Dalam pergumulan akhirnya ia memutuskan untuk tetap menunggu selama beberapa menit. Kalau cowok itu belum datang juga sesuai jam janjian mereka,dia akan langsung pergi dengan ojol.

"Ta, Mama jalan duluan ya..." Suara dari ruang tamu membuatnya lega.

Vanta bergegas keluar kamar mengantar Mama ke halaman. "Oke Ma, hati-hati."

"Kamu juga hati-hati nanti berangkatnya."

"Siap, Ma...."

Beruntung Mama pergi lebih dulu. Sekali lagi ia melirik jam. Kembali ke kamar mematut dirinya di cermin. Merapikan lipatan di bagian belakang kausnya yang sedikit terangkat. Walaupun pakaian yang sehari-hari dikenakannya memberikan kesan cuek, tetapi dia sangat menomor satukan kerapian. Dalam tingkat kerapian, Vanta termasuk orang yang perfeksionis.

Ketika sedang sibuk memerhatikan dirinya di cermin, sudut matanya menangkap pemandangan di luar jendela kamar. Warna merah yang kontras langsung menangkap perhatian matanya. Ia kontan bangkit dari kursinya dan menatap ke luar pagar dari jendela kamarnya. Mobil merah yang dikenalnya berhenti tepat di depan rumah.

Ternyata Alvin benar menjemputnya. Segera disambar tabung dan ransel biru yang biasa dia bawa ke kampus. Melangkah cepat ke luar.

"Gue kira lo lupa," hardik Vanta ketika cowok itu turun dari mobil.

"Nggak dong." Alvin dengan kacamata berlensa gelapnya menatap jam pintar di pergelangan tangan.

"Udah, buruan." Dibukakannya pintu mobil untuk Vanta.

Hal ini berhasil membuat Vanta tertegun. Setelah dia masuk, Alvin menysulnya masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi.

"Gue kira lo ganti mobil gara-gara gue pernah bilang sakit mata liat warnanya."

"Maksud lo yang kemarin?"

"Iya."

"Itu bukan mobil gue. Kalo gue pake mobil ini kemarin, baru liat ujung mobil gue aja lo pasti udah pergi dari parkiran."

Seratus persen benar sih dugaan Alvin itu. Tentu saja Vanta nggak akan mau dekat-dekat dengan 'masalah'.

"Emang segitu nggak asiknya warna mobil gue?"

"Hmm... yah... bukan nggak asik sih. Agak mencolok aja." Bukan agak sebetulnya.

"Oh... gue berniat ganti sih."

"Ganti cat?"

"Ganti mobil."

Diam-diam Vanta menelan ludah. Dalam hati agaknya tercengang. Ini orang ganti mobil aja udah kayak ganti tas. Abaikan ajalah dunia orang tajir. Dia mah cuma remahan gorengan yang terbawa angin ke kampus penuh kaum elit. Sempat sunyi beberapa saat. Hingga dia teringat sesuatu.

"Eh Vin,"

"Hm?"

"Kemarin itu...." Berusaha memberanikan diri bertanya untuk menghilangkan rasa penasarannya, tapi masih ragu. Kalau dijawab syukur, kalau nggak dijawab juga nggak apa-apa. "Ng... maksud gue...."

"Apa?" Alvin menyela kalimat Vanta yang terputus-putus. "Lo mau tanya apa sih?"

"Yang kemarin itu... lo pengen gue tutup mulut atau gimana?"

"Kalo pun elo mau ngomong ke orang lain, mau ngomong ke siapa emang? Buat apa?"

Vanta terdiam. Iya juga sih. Memang siapa yang perlu dia kasih tau? Lagi pula dia juga bukan tipe cewek penggosip. Tapi ia teringat Jessi. Tanpa sadar suka cerita-cerita tentang Alvin sama sahabatnya satu itu.

"Hmm... lo tau sendiri kan ada Jessi dan Nathan. Kalo gue keceplosan?"

Sebenarnya nggak mungkin sih Vanta keceplosan masalah sensitif seperti itu. Kalau dia mudah keceplosan seharusnya sudah banyak rahasianya yang terbongkar oleh orang lain. Tapi pertanyaan ini untuk jaga-jaga saja.

"Lo simpen aja sendiri. Nggak ada orang lain yang tau selain Toto. Karna dia temen gue dari SMP."

Vanta terdiam. Alvin melanjutkan, "Sebagai ganti supaya gue yakin kalo lo nggak bakal bocor ke mana-mana, mulai hari ini gue antar jemput lo ke kampus."

"Loh, kok jadi begitu?" tanya Vanta bingung.

"Karena jaminannya," Alvin menggantungkan kalimatnya dan melanjutkan dengan sudut-sudut bibir terangkat. "Itu elo."

Vanta tersentak. Apa sih maksudnya? Kemarin dia dijadikan sasaran balas dendam. Sekarang dia dijadikan jaminan untuk tutup mulut dari rahasia yang secara sukarela dibagikan. Kenapa sih cowok ini? Ada masalah apa lagi sama dia?

=== BERSAMBUNG ===

Dan, akhirnya aku putusin buat publish lagi cerita ini

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang