#11 Bahan Gosip

14K 1K 14
                                    

Baru juga kemarin Vanta ketemu cowok itu di sekitar sini. Kenapa sekarang dia malah ada di sini?! Sejak kedatangan Alvin dan teman-temannya, Vanta terus bersembunyi di dapur bingung mau melayani pesanan para tamu.

"Ta, meja nomor sembilan pesanannya udah belum?"

Vanta menggigit bibir bawahnya resah. "Belum, Kak." Lalu mendekat ke Kak Windy untuk menjelaskan. "Kak, di meja itu anak-anak kampus Vanta. Boleh nggak kalo aku layanin pesanan meja lain?"

Dia takut menjadi bahan olok-olok Alvin di tempat kerja dan berujung keributan. Lelaki itu nggak bisa diprediksi soalnya. Bisa diam-diam merencanakan sesuatu. Contohnya ya, rambut Vanta yang sekarang pendek ini. Kalau bukan karena ulah Alvin yang nggak ketebak, dia pasti bisa lebih waspada sebelumnya.

"Ya udah, sini liat pesenannya," ujar Kak Windy mengerti.

Untung saja letak meja Alvin di dekat pintu masuk, bukan di bagian paling dalam ruangan. Kalau tidak, mungkin dia sudah kelihatan oleh cowok itu.

Membuang Alvin jauh-jauh dari pikiran, Vanta berusaha tetap fokus bekerja. Membawakan pesanan meja yang dekat dari kasir, mencatat pesanan di sekitar meja itu, pokoknya asal nggak dekat meja Alvin cs deh.

Beberapa menit berlalu. Semuanya tampak lancar-lancar saja meski Vanta berharap cowok itu cepat pergi. 'Dari sekian banyak tempat, kenapa dia harus ke sini sih? Menyebalkan sekali', rutuk Vanta.

Sambil menghela napas ia membawa nampan berisi minuman dan makanan keluar dari dapur hendak mengantarkannya. Di saat bersamaan, seseorang keluar dari toilet hampir menabraknya. Kalau saja orang itu tidak ikut memegang tangannya yang membawa nampan, mungkin keseimbangannya sudah hilang dan menjatuhkan nampan itu.

"Eh, sorry... sorry...," tukas laki-laki di depannya.

Ketika mereka mengangkat wajah saling bertatapan, keduanya membatu sejenak. Yang satu bercampur antara kaget dan bingung. Yang satu lagi antara kaget dan tegang.

Buru-buru Vanta mengalihkan pandangan ke arah lain. Menarik nampan dan tangannya yang masih ada di genggaman laki-laki itu, lalu melengos pergi mengantar pesanan.

***

Perasaan tidak tenang menghantuinya sejak tadi. Sejak ia berpapasan dengan orang yang paling tidak ingin ditemuinya. Sambil mondar-mandir gelisah dia mengipas-ngipas wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Bagaimana ini?

Hal yang ditakutkannya malah terjadi. Alvin melihatnya mengenakan seragam saat mereka hampir bertabrakan tadi. Dia betul-betul cemas. Takut kalau cowok itu menyebar gosip tentangnya. Merasa tidak tenang, ia akhirnya keluar dari pintu dapur mencari udara. Berdiri di samping tembok café sambil mendongakkan kepala menatap langit malam.

Bohong kalau dia bilang dia baik-baik saja. Bulu kuduknya meremang. Dia bukannya takut dengan lelaki itu. Yang dia takutkan adalah tindakan di luar nalarnya.

"Ngapain lo di sini?" Suara yang familiar itu bukan hanya mengejutkannya, tetapi juga membuat udara di sekitarnya berubah lebih dingin.

Secepat mungkin ia berusaha menyimpan ekspresi tegangnya, mengganti dengan raut datar. Mati-matian dia berusaha agar tetap tenang.

"Lo sendiri ngapain?"

Cowok yang sedang meniupkan balon permen karet itu mengamatinya, kemudian mendengkus. "Lo emang begitu ya? Selalu nanya balik kalo ditanya? Nggak pernah gitu jawab yang bener."

"Kenapa gue harus jawab pertanyaan lo?" Vanta melipat kedua tangannya di depan dada dengan angkuh. Menyembunyikan tangannya yang gemetar.

"Kenapa lo kerja di sini? Café ini punya keluarga lo?"

Tersenyum getir, ia lupa sebagian besar mahasiswa di kampusnya berasal dari keluarga kaya. Kalau orang tua mereka bukan pemilik usaha, minimal memegang jabatan tinggi di perusahaan. Jessi yang sahabatnya saja setiap ke kampus selalu diantar jemput supir. Apa lagi Alvin? Dia yang hidupnya mewah pasti tidak mungkin membayangkan seorang pelajar bekerja di Café & Bar seperti ini.

Tapi Vanta tidak ingin menjadi pembohong dan menerima ganjaran setelahnya. Dia tidak mau membenarkan pertanyaan Alvin barusan.

"Bukan urusan lo."

Setelah menjawab dengan kalimat super jutek, ia berbalik hendak kembali ke dapur. Namun langkahnya terhenti karena satu pergelangan tangannya dicekal.

"Apaan sih? Lepas nggak?! Kalo nggak gue teriak."

"Jawab dulu."

"Mau gue ngapain juga, apa hubungannya sama lo?"

Cowok itu menatapnya lekat tanpa mengalihkan perhatian. Tangannya masih mencengkram pergelangan tangan Vanta erat.

"Kenapa? Mau sebarin kalo gue kerja di sini?" Tersulut rasa jengkel, Vanta mengangkat wajahnya. Membalas tatapan Alvin dengan menantang.

"Kenapa harus di sini?"

Raut wajahnya tak terbaca ketika laki-laki berkaus hitam itu bertanya dengan nada yang sulit diartikan. Sementara Vanta mulai mendidih. Mau dia kerja di mana, mau dia kerja apa, itu nggak ada urusannya sama cowok gila ini. Kenapa dia kepo banget?

"Gue nggak kayak lo yang kuliah tinggal kuliah, main tinggal main. Gue nggak kayak lo yang punya banyak pilihan mau ngelakuin apa. Terserah lo mau bikin gosip apa pun di kampus. Yang pasti lepasin tangan gue se-ka-rang,"

Namun Alvin masih bergeming, menatapnya dengan pandangan yang... entahlah. Dia sendiri tidak tahu apa yang ada di pikiran cowok itu.

Sampai ia harus mendesis sekali lagi. "Lepas."

Barulah lelaki yang katanya tampan dan idola kampus itu melepas cekalannya. Tidak peduli lagi hal apa yang sedang direncanakan Alvin, ia bergegas masuk ke dalam.

***

"Ke mana aja lo Vin? Lama bener?" tanya Edo.

"Tau... lo kayaknya udah ke toilet tadi. Kan lo nggak mungkin ngerokok." Andre yang sejak tadi duduk dengan Alvin ikut menimpali. Hapal betul kebiasaan temannya yang tidak pernah mau ditawari segala jenis rokok, dari batangan hingga elektrik.

"Ada urusan dikit," sahutnya saat menghempaskan diri ke bangku. Ia meneguk birnya di gelas sampai habis, lalu berceletuk, "Cabut yuk!"

Andre langsung merespon. "Hah? Udah mau cabut?"

"Pindah tempat. Bosen di sini,"

"Oh... ya udah." Cowok yang duduk di sebelahnya itu meraih gelas bir sebelum membereskan dompet dan kunci mobilnya di meja.

Sebetulnya Andre merasa aneh karena sejak tadi Alvin terlihat nyaman-nyaman saja. Tapi entah kenapa anak itu tiba-tiba berubah. Memutar bola mata sekilas, ia tidak ingin terlalu menggubrisnya. Pindah tinggal pindah.

"Yok, mau ke mana?" Edo sudah beranjak dari duduknya.

"Terserah kalian aja," ujar Alvin melirik ke arah dapur. Ditemukannya sosok itu sedang mondar-mandir di sana menyiapkan pesanan. Ia menatapnya selama beberapa detik hingga akhirnya menyusul langkah kedua temannya.

=== BERSAMBUNG ===


Kira-kira berita kerja sambilannya Vanta bakal tersebar nggak ya? T_T

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang