Jessi yang ada di sana hanya bisa ternganga melihat peristiwa spektakuler di hadapannya, membekap mulut dengan kedua tangan. Matanya melebar tidak percaya dengan apa yang dia saksikan. Bahkan semua orang di kantin ikut tercengang, kemudian melihat ke arah Vanta dengan tatapan iba.
Kenyataan itu membuat Vanta kalap, hampir lepas kendali. Ia terpaku di tempat, tidak percaya Alvin telah menggunting rambutnya. Rambut panjangnya yang selalu menjuntai melewati bahu. Walaupun pernah berpikir untuk memotong rambutnya sedikit lebih pendek, tapi bukan begini caranya. Bukan tangan itu yang dia harapkan untuk memangkas rambutnya.
Hening di kantin beberapa saat, semua mata masih memandang Vanta dan Alvin dengan napas tercekat. Vanta tetap berusaha menahan gejolak dan emosi yang berkecamuk dalam dadanya, dia menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata erat-erat selama sepersekian detik kemudian menatap Alvin tajam─setajam sebilah pedang.
"Lo udah gila," desis Vanta lirih yang nyaris seperti bisikan.
Dadanya bergerak naik turun menahan marah. Ia berharap tatapannya dapat mencabik-cabik Alvin saat itu juga.
"Lo bener-bener gila! Kenapa sih lo segitu nggak sukanya sama gue?!" Kali ini nada suara Vanta meninggi. Emosinya telah membuncah. Air mata yang sejak tadi ditahannya menyebabkan wajah dan matanya memerah.
"Lo tuh udah keterlaluan tau, nggak?! Sampe kapan lo mau bales gue karena masalah lemonade itu?! Sampe kapan lo bakal berhenti bully gue?!" jerit Vanta geram sambil menahan isaknya.
"Sampe gue merasa itu cukup." Alvin menatap tepat pada manik matanya.
"Gue, benci banget sama lo!" Terdapat penekanan pada setiap kata yang diucapkan Vanta.
Sementara itu Jessi masih terpaku di tempat. Sampai Vanta berbalik dan berlari meninggkalkan kantin, dia baru tersadar dan berlari mengejar sahabatnya.
Vanta masuk ke toilet menutup pintu utama. Kedua tangannya bertopang pada wastafel. Ditatapnya pantulan dirinya yang kacau di cermin. Sudut-sudut matanya telah basah. Penglihatannya terhalang oleh kabut di pelupuk mata. Perlahan titik demi titik air mengalir turun, membasahi pipinya. Ia terus mengusap dengan kasar setiap tetes air mata yang luruh. Lelah memendam semuanya, kini tangisnya pecah menjadi sebuah isakkan.
Jessi berhasil mengejar Vanta sampai ke toilet. Namun ia terlambat untuk ikut masuk. Gadis itu telah mengunci toilet dari dalam. Diketuknya pintu toilet dengan keras.
"Ta, buka dong." Satu kali Jessi memanggil.
"...."
"Ta, lo nggak aneh-aneh kan?" Panggilan kedua, Vanta tetap tidak mengeluarkan suara.
"Ta?" Setelah yang ketiga kalinya, samar-samar Jessi mendengar isak tangis Vanta. Hatinya seperti ikut terluka mendengar temannya menangis. Rasa sakit yang dirasakan Vanta seolah dapat ia rasakan. Akhirnya Jessi memutuskan untuk membiarkan Vanta menenangkan diri beberapa waktu. Ia menunggu di depan pintu toilet dengan sabar sampai suara tangisan Vanta berhenti.
"Tata, gue boleh masuk?" tanya Jessi hati-hati dari luar toilet. Namun tetap tidak ada jawaban. Jessi menghela napas. "Lagi nggak ada orang kok di depan sini."
Setelah kalimat terakhirnya, Jessi mendengar suara dari dalam toilet. Dan kemudian pintu itu terbuka. Keadaan Vanta membuat tubuhnya seperti tersengat. Gadis di depannya─yang tadi pagi muncul dengan keadaan yang rapi─tampak berantakkan, begitu kusut. Matanya sembab dan merah. Segera Jessi memeluk Vanta, mengelus kepala gadis yang lebih tinggi darinya.
"Jangan nangis lagi ya, Ta."
Entah gadis itu mendengar ucapannya atau tidak, tubuhnya kaku dalam pelukan Jessi. Sadar dengan situasi yang ada, Jessi menutup kembali pintu toilet. Dikeluarkannya facial tissue dari dalam tas untuk mengusap wajah Vanta.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]
RomanceSemula Vanta tidak tahu, kalau satu perlawanannya bakal menjadi masalah serius. Siapa sangka, cowok yang ditantangnya─Alvin─ternyata adalah penguasa kampus! Jadilah mereka musuh bebuyutan. Di mana ada Alvin, itulah saat paling buruk untuk Vanta. Ner...