un

13.1K 817 64
                                    

NAURA

Begitu terbangun, yang pertama kusadari adalah sudah ada tangan kekar yang memeluk perutku dari belakang. Tidak perlu membalikkan badan untuk mengetahui siapa pelakunya. Aroma tubuhnya yang memiliki dua pencampuran antara balsamic wood dan juga warm spicy membuat aromanya terasa unik dan hanya bisa dimiliki oleh satu orang. Barra Salim. Cowok yang ingin aku hindari namun entah kenapa tidak bisa.

Entah bagaimana, sejauh apapun aku pergi atau sehebat apapun pertengkaran kami. Dia selalu berakhir di sini. Di sampingku.

Barra bukan orang lain dalam hidupku. Berada di lingkungan yang sama membuat kami sering bertemu tanpa dikehendakki. Belum lagi Barra adalah sahabat satu-satunya Naufal.

Naufal.

Aku menggigit bibir getir, mengucapkan namanya membuat luka yang telah mengering kembali terkorek. Tidak ingin pagiku disirami oleh mendung. Aku pun mencoba memindahkan tangan Barra dari perurtku.

"Nau," suara serak khas orang yang masih mengantuk terdengar. Siapa lagi kalau bukan Barra? Cowok itu merapatkan tubuhnya, memelukku lebih kencang. Seolah tidak mengizinkanku beranjak dari sisinya.

"Bar, aku musti siap-siap kerja," beritahuku.

"A minute, Nau," balas Barra. Malah menyusupkan wajahnya ke lekuk leherku. Hidung mancung Barra mulai mengendus-ngendus di sana, seolah ia sedang mencari aroma yang ia inginkan.

Aku membuang napas. Melirik jam di nakas yang menunjukkan pukul 6.20. Artinya aku tidak punya banyak waktu untuk bermalas-malasan bersama Barra yang sekarang terlihat terlalu nyaman dengan posisinya.

"Aku hitung sampai tiga..." kali ini aku memilih untuk memberi ancaman. "Kalau kamu nggak lepasin juga, kita—"

"Nau," Barra mengeluh yang terdengar seperi rengekkan. "Aku kangen."

"Not working, Bar," cibirku.

"Kamu tidur duluan. Aku pikir kamu bakal nunggu aku," gumamnya di luar topik.

"Kamu pikir aku bakal mau buang waktuku buat nunggu kamu yang lagi enak-enaknya mabuk di kelab?" sarkasku.

"Mereka maksa. Susah nolaknya, Nau." Alasannya. "Padahal aku pengin rayainnya bareng kamu."

Aku mendengus sinis. Lantas kembali mencoba melepaskan tangan Barra dari tubuhku. Berhasil. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku lantas bangkit duduk. Saat menoleh, kudapati Barra menatapku dengan bibir yang mencebik.

Percobaan kedua. Harus aku akui, aku hampir luluh. Aku bahkan harus mengingatkan diriku jika yang sedang di hadapanku sekarang ada Barra Salim. Cowok yang tidak perlu kuberi rasa simpati atau empati.

"Seriouly, Bar? Apartemen kamu jual aja deh kalau tiap hari nyasarnya ke tempatku," aku mengomel seraya turun dari tempat tidur. Mengambil jepit rambut dan menjempitnya dengan asal.

"Dan tinggal bareng di sini sama kamu?"

"You wish!" seruku yang mengundang kekehan dari Barra.

Dari kaca meja rias, kulihat cowok itu menopang kepala dengan telapak tangannya. Menatap punggungku lekat-lekat. Aku berusaha mengabaikannya. Menyibukkan diri dengan membasahi kapas dan mengusapkannya ke wajahku.

"Anyway, Mami kemarin main ke butikku." Mami kumaksud adalah Ibu Barra. Berbaur dengannya sejak keci, membuatku terbiasa mamanggil orang tuanya dengan sebutan Mami alih-alih Tante. "Terus nanya-nanya hubungan kamu sama si Razalea," aku kemudian berbalik. Menatapnya sebal. "Kalau memang pacaran, kenapa nggak kenalin langsung ke Mami aja sih? Mami juga nggak akan minta kamu sama cewek itu langsung nikah. Cuma pengin tahu aja pacar kamu orangnya gimana."

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang