vingt-deux

4.8K 341 8
                                        

NAURA
Belum sempat aku duduk di kursi kerja, pintu ruanganku sudah diketuk, menampakkan sosok Kintan yang masuk ke dalam.

Tidak ingin meninggalkan butik lama-lama. Aku langsung bekerja keesokan harinya. Tentunya setelah menghabiskan setengah botol vodka sendirian, yang membuat pagi ini kepalaku di serang rasa pusing yang begitu hebat. Aku mengutuk kecerobohanku—di saat yang sama harus berterima kasih pada vodka karena cairan itu berhasil membuatku sejenak lupa soal masalah hidupku.

"Ada yang ngirim bunga buat Mbak Naura," beritahu Kintan seraya mengambil langkah mendekat dengan membawa sebuket bunga mawar. "Dari Mas Barra," lanjutnya yang membuatku tidak bisa berkata apa-apa.

Setelah pertengkaran kami kemarin pagi. Barra tak kembali. Aku memang tidak menunggunya. Tapi aku memikirkan cowok itu. Dia juga nggak menelpon atau mengirimkan chat apapun padaku. Aku tidak ingin kecewa. Kenyataanya, salah satu alasanku implusif mengambil botol vodka di lemari kitchen set karena dia tak mengabariku.

Kintan belum beranjak menunggu perintah dariku. "Taruh aja di meja," kataku akhirnya lalu menambahkan. "Oh, ya, tolong kamu beliin saya hot americano ya, Kin." Kukeluarkan credit card dari dompet. "Sekalian buat kamu dan yang lainnya juga."

"Baik, Siap, Mbak." Kinta tersenyum lebar.

Sementara aku hanya membalas dengan senyum seadanya. Kepalaku berdenyut-denyut setelah Kintan meninggalkan ruangan. Ugh, sekarang aku kembali menyesal begitu merasakan efek dari setengah botol vodka yang kuhabiskan. Kupijit pelipisku sembari melirik bunga mawar yang dikirim Barra. Menahan diri agar tidak tersanjung karena ia masih mengingat hal-hal yang kusukai.

Tanganku terulur saat melihat ada secarik kertas yang terselip di antara bunga mawar. Membaca tulisan yang ternyata cukup panjang dengan perasaan campur aduk.

Jadwalku padat banget kemarin. Aku gak pulang ke apart karna musti ke studio. Sekarang aja aku belum tidur : (

Maaf soal kemarin ya. Seharusnya aku jadi orang pertama yang kasih selamat buat kamu. Bukannya langsung marah-marah karena cemburu.

But you know, I always support you, kan. You did great, Nau. Aku bangga sama kamu : )

Aku menghela napas panjang. Kepalaku malah makin berdenyut-denyut. Meski tidak terkejut dengan usaha yang Barra lakukan. Namun harus kuakui, kalimat di kertas ini juga membuatku galau. Sesering apapun kami bertengkar. Tak menampik fakta jika kami sudah menghabiskan waktu mengenal satu sama lain sangat lama. Bukan hanya di kondisi senang. Barra ada untukku di titik terendah dalam hidupku. Begitu pun sebaliknya.

Dulu saat kami belum menjadi apa-apa, kami mendukung mimpi satu sama lain. Awal-awal Barra meniti karir, ia sudah menelan banyak penolakkan.

Setiap kali ia pulang ke apartemen Naufal—yang masih ia tinggali karena tidak memiliki tempat tinggal maupun uang—dengan wajah lesu dan muram, dadaku ikutan sesak. Aku tahu gimana giatnya dia berlatih. Di tengah perjuangan itu pun, Barra harus bekerja sebagai pelayan restoran karena dia tidak mendapat sokongan apapun dari keluarganya.

Aku sering datang ke apartemen Naufal membawakannya makanan dari rumahku dengan alasan tidak ingin makan sendirian karena orang tuaku sibuk. Padahal aku melakukannya karena ingin Barra makan yang cukup. Aku tidak ingin dia sampai sakit.

Masa-masa Naufal kuliah di Amerika, aku dan Barra benar-benar mengandalkan satu sama lain. Aku yang menyemangati Barra mengejar mimpinya. Dan Barra yang menyemangati hubunganku dengan Naufal. Menjalani hubungan LDR nggak mudah. Apalagi perbedaan waktunya cukup jauh. Saat Naufal baru memulai aktivitasnya, aku sudah bersiap tidur. Tidak jarang kami bertengkar karena hal itu. Yeah, walaupun pertengkaran di mulai olehku, Naufal mengakhiri dengan dirinya yang mengalah.

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang