cinquante deux

3.5K 218 5
                                    

NAURA

"Tumben nggak ditemenin bodyguard?" sindiran yang dikeluarkan Ela membuatku mendengkus.

Tubuhku yang mulanya sudah terasa rileks kembali menegang akibat pertanyaan Ela yang berhasil membuat moodku kembali drop. Padahal alasanku mengajaknya pergi SPA—salah satunya untuk menghindari topik tentang cowok-yang-namanya-saja-malas-kuucapkan. Alasan lainnya aku memang butuh SPA.

Persiapan pernikahan itu sangat menguras tenaga dan mental. Kendati sudah dibantu oleh Mama, Mami—dan Barra juga banyak berkontribusi. Tetap saja sebagai calon pengantin, aku harus berpartisipasi dalam memutuskan semua hal. Bukan itu saja, mentalku pun diuji. Entah kenapa, aku merasa H-30 pernikahan kami, aku dan Barra sama-sama sensitif. Maksudku, kami jadi suka mempermasalahkan hal-hal kecil hingga berujung pada pertengkaran.

Here's the thing, kemarin malam aku meminta Barra menemaniku datang ke party salah satu temanku—Stephenie—yang berulang tahun. Dia temanku sewaktu aku kuliah di Paris. Stephenie sekarang berkarir sebagai model di Jakarta. Aku tahu Barra tidak terlalu menyukai teman-teman kuliahku—karena  menurutnya mereka adalah pengaruh buruk buatku. Sebab itu, aku sama sekali tidak berharap dia akan mau menemaniku.

But you know him, Barra yang memang lagi clingy tentu tidak akan membiarkanku pergi tanpanya. "Kalau kamu memang nggak suka, mending aku sendiri aja." Kataku.

"Dan biarin kamu pergi sendiri?" sambarnya. Menatapku tajam. "Nggak, Naura. Aku nggak akan biarin kamu sendiri."

Aku menghela napas panjang. Tidak mau memperpanjang, sebab saat itu, kami sedang dalam perjalanan menuju salah satu kelab malam di daerah Jakarta Selatan—tempat dimana Stephenie merayakan ulang tahunnya.

Aku tahu Barra orangnya gimana. Dia tidak akan mau repot-repot bersikap ramah jika dia memang tidak suka pada seseorang. Tapi masalahnya mereka adalah teman-temanku. Dan aku tidak memaksanya datang. Aku pun nggak keberatan pergi seorang diri daripada nanti teman-temanku canggung padanya.

Barra memang tidak bersikap ketus. Namun siapa yang akan nyaman jika ditatap dingin dan pertanyaannya dibalas pendek?

"Cowok lo nggak suka ya sama gue?" ringis Stephenie ketika Barra pamit ke toilet.

"It's not like that, Step." Desahku merasa bersalah. "Barra lagi banyak pikiran aja. You know, pernikahan kami sebentar lagi. Sorry ya."

"Gue kira dia nggak suka sama gue," Stephenie tersenyum segaris. Alasanku pasti terdengar seperti kebohongan—even though I was lying. Namun apa yang bisa kulakukan selain berbohong?

"Iya, Step. Barra sejak dulu memang nggak suka sama kalian. Dia menganggap kalian pengaruh buruk buat gue," nggak mungkin aku berkata begitu pada teman-temanku.

Sikap tidak menyenangkan Barra tidak berhenti sampai di sana. Aku sudah sangat bersabar saat dia terus mengeluarkan ekspresi cemberut pada teman-temanku. Padahal aku sama sekali nggak memaksanya datang—bisa dimengerti jika aku melakukanya. But I wasn't. Kesabaranku juga ada batasnya. Jadi, saat Barra tiba-tiba mendorong Bram hanya karena melihat kami mengobrol akrab. Aku tidak mau repot-repot mengerti Barra lagi.

Kuseret cowok itu keluar dari kelab. Meminta maaf pada Stephenie karena sudah membuat keributan di pestanya. Lalu mengunci rapat bibirku. Sama sekali tak berniat mengajak Barra bicara.

"Sayang, aku minta maaf. Tadi aku kira dia mau kurang ajar sama kamu," Barra menunjukkan penyesalannya begitu menyadari kemarahanku.

"..."

"Sweetie ..."

"..."

"Aku ingat cowok itu. Dulu dia pernah deketin kamu, kan? Dia temannya Peter mantan kamu. Setelah kamu putus sama Peter, dia langsung deketin kamu."

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang