BARRA
Keramaian terlihat jelas dari luar venue. Pagelaran fashion show kali ini sepertinya lebih megah dari yang sebelum-belumnya, gue sempat melihat beberapa selebriti hadir dan berfoto ketika awak media membidik mereka terburu-buru. Bisa dibayangkan, kehadiran gue yang tiba-tiba datang setelah kemarin diberitakan sakit akan membuat kehebohan di hari spesial Naura.
Meski gue bisa saja memakai alasan ingin mendukung 'sahabat sejak kecil' dan media akan lekas percaya karena kedekatan gue dan Naura sudah dilabeli sebatas sahabat—still, Naura sudah berusaha keras. Gue nggak ingin merusak acaranya hanya karena tindakkan egois gue.
So, here I am.
Berdiam di dalam mobil setelah menemukan mobil Naura dan memarkir di depannya. Setiap detik yang terlewati gue tunggu dengan sabar. Gue bisa menunggunya selama bertahun-tahun, hal ini nggak akan ada apa-apanya.
Gue bahkan bisa mencintainya diam-diam saat Naura berada begitu dekat dengan gue. Dulu melihatnya tertawa, tersenyum, dan merengut karena gue sudah lebih dari cukup. Gue nggak membutuhkan apa-apa lagi. Namun manusia memang makluk serakah. Pada kenyataanya, gue ingin memiliki Naura. Hanya untuk diri gue sendiri.
Malam itu, setelah pulang dari jadwal manggung, talk show, dan reality show yang padat karena gue masih pendatang baru dan butuh banyak tampil di TV—gue menemukan Naura duduk di atas sofa apartemen Naufal yang masih gue tempati sambil memeluk lututnya.
Kalau aja lampu tidak dalam kondisi mati, atau at least TV menyala dan Naura tengah memangku popcorn-nya—pemandangan yang sudah sering gue lihat sejak Naufal kuliah di Amerika—mungkin gue bakal senyum senang lalu menghempaskan badan di sebelah Naura sembari merebut popcorn, yang akan membuatnya mendelik dan menyuarakan protes keras pada gue.
Berbeda dengan hari-hari biasanya. Dari kegelapan yang membalutnya, gue bisa merasakan kesedihan memancar terang dari tubuhnya.
"Naura?" gue mendekati Naura cepat dan panik. Merangkum wajah agar mata kami bertemu.
Seperti pisau tajam menancap dada gue, dengan penerangan yang minum gue tahu kalau wajah Naura sudah banjir oleh air mata.
"Hey, are you okay?" gue menyeka air matanya lembut. Menyakitkan rasannya melihat cewek yang selalu tersenyum cerah kini menangis tersedu-sedu.
Naura menggeleng. Menundukkan wajahnya. "Barra," suaranya bergetar karena tangis. "Naufal pasti udah nggak sayang aku lagi, kan?"
"Hey, Naura, what are you saying? Darimana kamu dengar hal konyol itu, hm? Dia sayang kamu. Selalu." Bantah gue keras. Naufal adalah cowok paling baik untuk Naura. Gue mengenal Naufal sejak kecil. Dia bukan tipe cowok yang akan membuat pacarnya bersedih apalagi menangis seperti ini.
"Naufal bilang dia nggak bisa pulang summer break ini." Mata Naura terpejam, membuat air matanya kembali turun. "Padahal dia udah janji kemarin."
"Pasti ada alasan," sanggah gue. Kembali menghapus air mata di pipinya. "Kamu udah tanya kanapa?"
"Dia bilang dia ikut penelitian sama proffesor-nya." Wajah Naura mendongak, menatap gue getir. "Dia nggak peduli lagi sama aku, Barra. Dua tahun kami LDR, tapi dia cuma pulang sekali."
"Kamu tau jadwal Naufal padat di sana. Dia ngambil double degree." Bantah gue. "Bukan karena nggak peduli sama kamu."
Tiba-tiba Naura menepis tangan gue. "Kamu temannya. Pasti belain dia." Gerutunya sambil menurunkan kaki dari sofa. "Seharusnya aku nggak datangin kamu ke sini."
Buru-buru gue menahan tangan Naura, yang langsung ia tepis. Secepat Naura melangkah kakinya, secepat itu juga gue mengejarnya. Menarik tangannya lalu membawa cewek yang paling gue sayangi itu ke dalam pelukkan gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
RomansaLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...