neuf

5.3K 440 31
                                    

BARRA

Untuk merilis satu album. Gue membutuhkan waktu dua tahun. Gue orangnya memang sangat perfeksionis. Standar gue tinggi dan gue ingin hasil yang sempurna. Nggak banyak orang yang tahan berkerja dengan gue. Sebab itu, gue salut sama orang-orang lama yang masih setia bersama gue. Apalagi yang bisa sabar sama mood gue yang gampang berubah saat lagi mengerjakan album.

Yang paling puncak adalah ketika album gue sudah rilis. Gue bisa jadi sangat super sensitif. Pada awal-awal meniti karir, gue sampai mengalami gejala anxiety. Gue sulit tidur, nggak nafsu makan, dan gelisah berkepanjangan. Mungkin karena dulu gue fokus pada hasil bukan proses yang gue jalani. Sehingga perasaan takut kalau karya yang gue buat ternyata nggak disukai orang-orang membuat gue jadi sangat cemas.

Baru tiga tahun ini gue jadi lebih santai. Mungkin karena gue sudah mengalami banyak hal untuk sampai di sini. Sehingga perasaan itu lambat laun nggak berarti apa-apa lagi buat gue.

Sekarang pun, gue ingin membuat sesuatu yang gue sukai. Bukan orang lain sukai. Meskipun nanti album gue nggak meledak kayak album sebelum-sebelumnya. Yang penting, gue berhasil menyelesaikannya. Dan puas dengan apa yang gue buat.

Sudah seminggu ini gue tinggal di studio. Gue nggak pulang ke apartemen karena tahu gue nggak akan bisa berkonsentrasi apabila tinggal dalam radius jarak yang berdekatan dengan Naura.

Terakhir kali gue bertemu dengan Naura, sejak makan siang bareng Jevan. Meskipun Jevan cukup menyulut emosi gue. Harus gue akui, cowok itu nggak meninggalkan kesan buruk. Gue melihat secara langsung interaksinya dengan Naura. Dan Naura nampak senang saat bersama Jevan. Cowok itu mudah banget bikin Naura tertawa. Nggak kayak gue yang selalu memancing kemarahannya.

Mungkin ini menjadi salah satu alasan gue memilih untuk tinggal di studio. Gue hanya sedang kabur dari perasaan tidak percaya diri. Perasaan seorang pecundang yang nggak berdaya.

"Bar, mau lanjut atau cukup aja buat hari ini?" tanya Satria selaku sound engineer yang sudah bekerja dengan gue sejak awal meniti karir.

Sebelum gue sempat menjawab. Toto—sang producer music—langsung menyela. "Hari ini cukup segini aja," katanya lalu melirik gue. Mungkin menyadari kalau gue sedang nggak dalam mood yang cukup baik. "Elo juga pulang deh, Bar. Kayaknya elo kelamaan di studio. Muka lo kusut banget."

Gue hanya mendengus. Merubah posisi gue yang semula bersandar di badan sofa menjadi tidur terlentang. Meletakkan punggung tangan gue di kening sambil memejamkan mata.

"Kalau nggak mau pulang ke apart lo. Pintu apartemen Razalea terbuka lebar buat lo." Sambung Toto cekikikan. "Siapa tahu stres lo ilang gara-gara dikasih 'servis' sama dia."

"Pergi lo sana!" decak gue seraya melemparkan bantal sofa ke arah Toto yang memang otaknya selakangan doang.

Toto tertawa kencang saat keluar dari ruang rekaman. Sedangkan Satria menggeleng kecil lalu pamit pulang pada gue.

Ruang rekaman kini berubah sunyi. Gue menghela napas berat. Kembali memejamkan mata. Tanpa permisi, potongan-potongan masa lalu kembali terputar di kepala gue.

"Naufal mana?" tanpa salam dan tanpa sapaan—pacar Naufal langsung menyerang gue dengan pertanyaannya dengan nada ketus.

Gue yang lagi duduk di sofa sambil memangku gitar mendongakkan kepala malas. Menatap cewek mungil yang melipat tangan di depan dada dan menatap gue dengan pandangan super sinisnya.

"Kok tanya gue. Lo kan ceweknya?"

"Elo kan teman serumahnya! Makanya gue nanya sama lo."

Gue diam. Memilih menyetem gitar gue dengan tuner. Alih-alih meladeni pacar Naufal yang selalu sensi setiap ngeliat gue.

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang