duex

10K 694 67
                                    

BARRA

Memasuki kantor, gue langsung disambut oleh omelan Resya.

"Aduh, Ganteng. Elo kemana sih semalam? Gue cariin kemana-mana nggak ada. Kebiasaan banget deh elo, Bar. Setiap mabok, ngilang mulu. Tolong pikirin juga perasaan gue yang ketar-ketir, takut keadaan elo yang tipsy malah dimanfaatin sama cewek-cewek sinting di luar sana, terus elo dituduh ngelakuin tindakan peleceahan seksual. Gimana?! Karir elo bisa terancam, Barra ganteng! TERANCAM!"

"Iya, iya, sorry, Resya ganteng—"

"Gue nggak ganteng. Gue cantik." Koreksi Resya sebal.

Gue ketawa. Mengangkat tangan tanda menyerah. "Iya. Resya cantik jangan marah ya. Kalau marah nanti cantiknya ilang."

Cowok gemulai berbadan kurus itu memanyunkan bibirnya. "Untung elo ganteng ya, Barra. Dan gue selalu lemah sama cowok ganteng dan macho kayak lo." Dengus Resya—manager yang terkadang juga merangkap sebagai personal asisten gue. Meski baru bekerja tiga tahun dengan gue. Resya sangat ulet dan cekatan. Dia bahkan nggak segan untuk mengomel bila gue sudah berbuat sesuatu yang mengancam karir gue. Terkadang Resya bisa lebih galak dari Mami.

Well, menjadi musisi adalah hal yang sudah gue impikan sejak kecil. Dan untuk berada dalam posisi ini sangat nggak mudah. Sebagai anak cowok satu-satunya, lalu terlahir dari keturunan Salim—gue sudah diarahkan untuk berkecimpung di dunia bisnis sedari dini. Impian gue yang ingin menjadi seorang musisi sudah dilenyapkan sebelum gue bisa mencoba. Mungkin di saat gue masih bocah ingusan, gue sama sekali nggak berani membantah dan menuruti semua keinginan Papi. Namun nggak ketika gue beranjak dewasa dan menyadari apa yang benar-benar gue inginkan.

Gue ditendang dari rumah ketika gue menolak meneruskan pendidikan di perguruan tinggi. Semua fasilitas dicabut dan gue nggak diberi uang sepersen pun. Hidup gue luntang lantung nggak tentu arah. Lalu satu-satunya orang yang membantu gue saat itu adalah Naufal. Sahabat gue yang sekarang nggak lagi berada di sisi gue.

Membicarakan Naufal akan selalu menyisakan rasa sedih dan penyesalan. Gue merasa semesta sangat jahat pada Naufal. Dia terlalu baik untuk direnggut dengan cara yang begitu sadis dan menyakitkan. Padahal orang sebaik Naufal harus berumur panjang. Jika saja Naufal masih di sini bersama kami. Gue yakin, hidup Naura akan lebih bahagia. Mungkin mereka sekarang sudah menikah dan sedang menunggu anak kelahiran pertama. Menjadi keluarga bahagia yang membuat siapapun iri melihatnya. Dan gue pasti menjadi bagian dari orang-orang tersebut.

"Memangnya elo semalam kemana sih, Bar?" tanya Resya saat kami masuk ke dalam lift. Naik ke atas menuju ruangan Baskara—partner yang membantu gue mendirikan perusahaan rekaman yang sekarang juga merangkap sebagai perusahan manajemen artis setelah Claire Davina Salim—sepupu—yang juga terjun dalam dunia entertainment bergabung dengan manajemen gue. Claire dulunya seorang model. Lalu lima tahun ini ia menggeluti dunia berfilman dan telah mendapatkan label sebagai artis dengan bayaran termahal.

Ini adalah tahun kesepuluh gue berkecimpung di dunia musik. Dan dua bulan lagi adalah perilisan album sekaligus perayaan sepuluh tahun gue berkarir. Sebab itu, banyak yang harus dibahas dan dipersiapakan.

"Pulang ke apartemen," gue menjawab pertanyaan Resya cuek.

"Pulang ke apartemen Naura maksud lo," sindir Resya yang hanya gue balas dengan senyum tipis dan keluar dari lift begitu pintu terbuka.

Baskara sedang bicara dengan seseorang saat gue memasuki ruangannya. Cowok itu mengangkat tangan, meminta gue menunggu.

Gue mengangguk lantas duduk di sofa. Diikuti dengan Resya yang setia di samping gue. Berbeda dengan gue dan Claire. Baskara berasal dari keluarga sederhana. Banyak orang yang mengira Baskara memanfaatkan gue dan Claire agar bisa mendirikan perusahaan ini. Padahal yang mengajak Baskara untuk kerjasama adalah gue. Sebab gue tahu kemampuan Baskara.

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang