quarante neuf

3.4K 186 9
                                    

BARRA

"Mau nikah sama Naura atau nggak? Kalau iya. Turunin sana gengsi kamu."

Begitu gue menceritakan gue yang mau melamar Naura—dimana Mama Papanya sudah setuju—reaksi Mami tentu saja senang luar biasa. Mami langsung menghubungi Mama Naura buat memastikan.

Seolah-olah gue itu ngibul doang sudah disetujui. Well, walaupun habis itu Mami cubit gue habis-habisan karena Mama Naura cerita soal gue sama Naura yang kepergok make out dan gimana liarnya gaya pacaran kami. "Malu-maluin banget sih, Bar. Ini Mami bisa-bisa dikira nggak bisa mendidik anak sampai kamu jadi cowok mesum gini," dumel Mami tapi sehabis itu senyum lagi. "Tapi nggak apa-apa deh. Naura akhirnya jadi mantu Mami."

So, here I am. Di kantor Papi yang berada di daerah Sudirman. Papi dipercaya memegang Salim Investment Management—sebuah perusahaan investasi yang telah kakek dirikan sejak tahun 1996. Mami bilang Papi langsung dipercaya karena kakek melihat potensi besar dalam diri Papi sejak masih muda. Apalagi Papi sangat tertarik mempelajari uang. Dari ketertarikan itu, rasa percaya kakek tumbuh pada Papi.

Dan harus gue akui, Papi memang hebat dalam bidang ini. SIM singkatan dari Salim Investment Management kini menjadi perusahaan investasi terbesar di Indonesia.

Makanya gue nggak mau merusak jerih payah Papi yang sudah mengembangkan SIM. Percuma gue memaksakan diri bekerja di perusahaan ini kalau ujung-ujungnya gue cuma merusak bukan malah mengembangkan. Memang sudah bagus Biancca aja yang meng-handle. Bukan gue.

Suara deritan pintu membuat gue menoleh. Hampir satu jam gue menunggu Papi di ruangannya karena Papi lagi ada meeting. Ternyata Papi nggak sendiri. Ada Biancca dibelakangnya—yang langsung menatap gue dengan tatapan penuh selidik.

"Mami udah bilang kamu mau ketemu sama Papi." Seperti biasa. Papi memang bukan tipe orang yang suka beramah tamah dan terlalu kaku. Gue bersyukur menuruni sifat Mami yang easy going dan ceria. Melihat Papi dan Biancca berada di ruangan yang sama membuat gue berasa sedang disidang di pengadilan. Suasana di sini terlalu serius. Terlalu tegang untuk ukuran pertemuan bapak dan anak.

"Bagus deh. Berarti aku nggak perlu jelasin panjang lebar lagi, kan? Kapan Papi punya waktu buat ketemu keluarga Naura?"

"Untuk ukuran orang yang butuh bantuan kamu tetap aja sombong ya?" sindir Papi.

"Kan Papi yang ngajarin."

Rahang Papi mengeras. Jelas banget tersinggung dengan kekurangajaran gue. Begitupun Biancca yang mendelik tidak suka. "Yang sopan, Barra."

"Kalau gitu kamu pasti sudah tahu," Papi kembali berhasil mengatur ekspresinya. "Papi nggak pernah memberi sesuatu secara gratis."

Gue nggak bisa untuk nggak mendengus. Tentu aja gue sudah menduga hal ini. Gue sampai dibiarkan menjadi gelandangan karena gue nggak mau menuruti keinginan Papi. Artinya kalau gue menginginkan sesuatu, harus ada harga yang di bayar.

"Papi masih mau minta aku bekerja di perusahaan Papi? Siap perusahaan Papi bangkrut karena aku?" gue mengangkat bahu cuek. "Papi tahu sendiri aku cuma tamatan SMA. Bertahun-tahun yang aku kerjain cuma musik. Karena aku bodoh soal bisnis makanya aku nunjuk Baskara buat jadi CEO di BARC."

"Ya, karena itu Papi nggak mengharapkan apa-apa lagi dari kamu."

"Terus?"

"Kamu membutuhkan kami buat bisa menikahi wanita yang kamu cinta. Artinya mulai sekarang, kamu nggak bisa lagi bersikap seenaknya. Papi mau kamu selalu hadir di setiap acara keluarga yang kita buat. Dan kamu harus membersihkan image kamu sebagai keturunan Salim. Intinya, kamu harus menuruti Papi mulai sekarang." Papi memandang gue datar. "Seharusnya nggak sulit, kamu berani menikahi Naura artinya kamu juga tahu keluarganya, keluarga Pak Nadiem tidak pernah terlibat skandal. Sampai Naura akhirnya pacaran sama kamu."

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang