NAURA
Tidur nyenyakku diganggu oleh sebuah cubitan yang tidak terlepas dari pipiku. Aku mengerang. Cubitan itu memang nggak sakit. Tapi cukup berhasil menganggu tidurku yang berharga. Begitu membuka mata, kutemukan Barra sebagai si pelaku.
"Barraaaaa, kamu ngapain sih?" desahku sambil menepis tangannya. Kuambil bantal lalu menutup kepalaku dengan benda itu.
"Bangunin kamu." Ia mengambil paksa bantal yang kutahan di atas kepala. "Come on princess, nggak bagus cewek tidur sampai siang."
"Aku masih ngantuk, Barra!" tukasku saat Barra berhasil merebut bantal dan menyingkirnya dari jangkuanku. "Lagian kamu ngapain pagi-pagi udah di apartemenku sih?!"
"Mau sarapan bareng. Yuk," ditariknya tanganku tanpa persetujuan. Tubuhku yang ringan ditambah tenaga Barra yang besar—dengan mudahnya cowok itu berhasil membuatku terduduk.
"Barra, kamu nyebelin banget!" seruku kesal. Mengacak rambut frustasi dengan tingkahnya pagi ini. "Kalau mau sarapan, sarapan aja sendiri! Kenapa pakai recokkin aku?!"
"Sekalian," Barra menjawab santai. Menyisir rambutku yang kuacak-acak dengan jemarinya. "Kamu nggak ke butik? Udah jam delapan lho."
"Aku ke butik siang. Kamu sarapan aja sendiri." Saat aku akan kembali menghempaskan tubuhku ke ranjang empukku—Barra dengan cepat langsung menarik tanganku hingga aku kembali dalam posisi duduk.
Astaga, baru semalam cowok itu bersikap manis lalu paginya dia kembali mengetes kesabaranku. Tidak salah memang aku bilang Barra menyebalkan!
"Nggak! Kamu harus tetap temenin aku sarapan." Tegasnya.
"Barra!"
"Apa, Naura?"
"Please, jangan bikin aku cakar muka kamu sekarang juga ya!"
Bukannya takut, cowok itu malah tertawa enteng. "Yuk, sini, aku gendong kalau kamu ngantuk." Kedua tangan Barra menyelip di ketiakku. Dengan gampangnya, cowok itu mengangkat tubuhku hingga sekarang aku sudah berpindah dalam gendongannya seperti anak koala.
Kalau bukan karena ngantuk berat. Aku pasti sudah memberontak. Bayangkan saja, semalaman aku begadang menyelesaikan pekerjaanku. Mataku baru terpejam saat jam menunjukkan pukul setengah lima pagi. Artinya, aku belum mendapatkan tidur yang cukup dan Barra sudah dengan seenaknya membangunkanku di saat aku ingin tidur lebih lama. Dimana letak nurani cowok ini sih?
Kusandarkan kepalaku di bahunya. Terlalu ngantuk untuk berdebat. Hidungku yang dekat dengan lehernya membuatku dengan mudah mengendus aroma tubuhnya. Barra sepertinya sudah mandi karena aku bisa mencium aroma tubuhnya yang bercampur dengan cologne.
"Kamu udah mandi?" gumamku tanpa sadar.
"Pagi ini aku mau ke kantor." Jawabnya bersama dengan telapak tangannya yang kurasakan di bokongku.
Aku berdecak. "Tangan kamu nggak usah kemana-mana."
Barra terkekeh ringan. "Aku nahan badan kamu, Nau."
"Nggak harus nahannya di bokongku, kan?!"
"Galak," cibirnya lalu menurunkan memindahkan tangannya ke pahaku.
Karena memakai celana pendek, aku benar-benar bisa merasakan tekstur tangan Barra yang sedikit kasar karena ia sering bermain gitar. Pasti ia banyak berlatih selama di studio, pikirku.
Sesaat kemudian, kurasakan tubuh Barra menurun disusul dengan dengkulku yang menyentuh permukaaan lembut yang kuyakini sofa. Mataku kembali terbuka untuk membuktikan dugaanku.
"Kamu udah bikin sarapan?" tanyaku sambil menoleh ke belakang saat hidungku mencium aroma roti.
"English breakfast," sebut Barra. "Aku beli di kafe serbang apartemen tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
RomanceLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...