vingt quatre

3.7K 270 9
                                    

Flashback

NAURA

Naufal : maaf ya, Nau. Aku ketiduran

Naura : yaudah, nanti kalau kelasnya udah selesai. telpon aku ya.

Naufal : iya.

Aku memandang nanar room chat-ku dengan Naufal. Hingga kini, cowok itu belum juga menghubungiku. Padahal aku sampai tarkantuk-kantuk menunggu telpon darinya. Well, ini bukan kali pertamanya. Sudah terlalu sering Naufal begini dan aku terus berusaha memakluminya.

Awal-awal kami LDR, komunikasiku dan Naufal masih berjalan dengan baik dan lancar. Perbedaan waktu dua belas jam bukan masalah buat kami. Namun setelah tiga bulan, kami hanya bisa mengobrol dua minggu sekali.

Naufal sibuk kuliah, Naura.

Naufal butuh banyak bersosialisasi di sana.

Naufal bukan anak SMA lagi. Dia mahasiswa di universitas bergengsi. Dia nggak ada waktu untuk chit chat  nggak penting.

Sering kali aku mendengar komentar itu setiap kali  mengeluhkan hubunganku dengan Naufal. Kenapa harus aku terus yang memahami Naufal? Kapan aku dipahami?

Menyebalkan! Coba sehari mereka menggantikan posisiku. Saat lagi kangen-kangennya, mendengar suara pacarmu saja sulit. Kadang saking kangennya, aku sampai menangis sendiri tengah malam. Ingin menghubungi Naufal tapi dia sedang kuliah. Sementara aku tidak bisa tidur merindukkanya.

"Langsung balik, Nau?" Ela merangkul bahuku setelah kami keluar dari gedung academy. Karena sebentar lagi mau kelas tiga, Mama mulai mendaftarkanku ke berbagai academy biar aku nggak malas-malasan. Sebenarnya aku ingin menolak. Tapi daripada galau mikirin Naufal. Mending aku ikut menyibukkan diri.

Aku mengangguk tak semangat. "Capek banget. Mau langsung tidur." Apalagi semalam aku nggak tidur.

"Yah, padahal gue mau mau ngajak lo ke Sency."

"Lain kali deh."

"Yaudah," Ela mengangguk kemudian masuk ke dalam mobilnya yang sudah menunggu di depan lobi.

Kulirik arloji di tanganku sembari menunggu Pak Rhedo menjemput. Alih-alih Pak Rhedo, yang muncul malah Barra dengan kawasaki ninja-nya.

Cowok itu berhenti di depanku. Membuka helmnya lalu mengacak rambutnya yang memang sudah berantakkan. "Mau ikut nggak?"

Mataku mengerjap. "Kemana?"

"Nontonin aku nyanyi."

Aku terdiam. Menimang-nimang tawaran Barra yang memang suka dadakkan. Dia bukan tipe orang yang terencana. Barra suka melakukan sesuatu secara spontan seperti ini. Tanpa kabar, tiba-tiba saja datang ke tempat lesku.

"Mau nggak?" tanyanya lagi. Kali ini dengan nada mendesak.

Walaupun mataku mengantuk karena tidak tidur semalam. Suasana hatiku yang gloomy pasti membuatku susah tidur. Daripada galau lagi di rumah. Mending aku ikut Barra.

Melihatku mengangguk. Senyum Barra merengkah lebar. Cowok itu menurunkan standar motornya. Mengambil helm kemudian memasangkannya ke kepalaku. "Aku telpon Pak Rhedo dulu, bilang pulang sama kamu," kataku setelah helm terpasang.

Saat aku sedang menekan tombol panggil di nama kontak Pak Rhedo. Barra melepas jaketnya kemudian mengikatkannya di pinggangku. Hal yang tidak lagi membuatku kaget karena cowok itu selalu melakukannya setiap kali aku naik motornya. "Rok kamu pendek sih. Kalau orang-orang natap paha kamu gimana?" begitu alasannya.

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang