quinze

4.2K 389 21
                                    

NAURA

"Nau? Naura?"

Aku langsung tersentak saat merasakan guncangan di bahuku.

Di sampingku, Jonathan mengerutkan keningnya dengan binar cemas di matanya. "Naura, are you okay?"

"Ya, I'm okay," aku mengangguk. Mengusap pelipisku lalu memasang senyum penyesalan. "Sorry,"

"No, seharusnya aku nggak ngajak kamu keluar di tengah kesibukkan kamu gini," sesal Jonathan. "Langsung balik ke butik?"

"It's okay, Jo. Aku nggak sesibuk itu banget kok," kuggelengkan kepala. Memegang lengannya. "On top of that, ini bentuk tanggungjawabku karena kamu mau nemenin aku minggu nanti."

"Aku malah senang kamu ajak." Jonathan balas mengusap kepalaku. "A minute, aku bayar dulu."

Aku hanya mengangguk tipis. Membiarkan Jonathan melakukan proses pembayaran untuk suit yang ia beli di meja kasir. Karena Jonathan masih proses pindahan dan banyak barang-barangnya belum diantarkan—Jonathan memintaku menemaninya shopping buat membeli suit yang akan ia kenakan untuk menghadiri pernikahan Rama dan Tere. Sadar kalau cowok itu jadi kesusahan karenaku, tentu saja aku tidak menolak ajakkannya tersebut.

Meski aku tidak bisa menyangkal kalau saat ini aku tidak bisa sepenuhnya fokus padanya. Bukan hanya pada Jonathan. Tapi juga pekerjaanku. Bahkan tadi aku nggak terlalu menyimaknya yang meminta pendapatku soal mana suit yang lebih bagus di tubuhnya.

Mataku terpejam sekilas lalu mendesah karena aku tidak tahu harus melakukan apa atas ucapan Barra yang ingin move on.

I know, itu sesuatu yang baik. Kami berdua terlalu lama tenggelam pada masa lalu. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, perginya Naufal masih menjadi mimpi buruk buat kami berdua. Aku takut...sesuatu yang sudah aku tahan dan tutup rapat kembali terbuka dengan mudahnya.

Kalian...tidak mungkin mengulang kesalahan yang sama kan, Nau?

"Naura," senyumku langsung terpasang begitu Jonathan kembali. Ditangannya sudah ada paperbag yang berisi suit yang ia beli. "Kalau kita makan dulu. Kamu okay, kan?"

"Ya," kepalaku mengangguk. "Mau makan dimana?"

"Aku ngikut kamu. You know Jakarta better than me."

"Em..." aku mengetuk daguku dengan telunjuk. Mencoba mengingat restoran apa saja yang ada di GI. "Mau makan ramen?"

"Why not," Jonathan menyetujui tanpa pikir panjang. Aku tersenyum kemudian menggandeng tangannya. Hal yang memang biasa kulakukan tanpa rasa canggung. Mungkin karena aku sudah mengenal Jonathan dari lama. Meski sudah dua tahun tidak berkomunikasi, tidak sulit buat kami akrab kembali.

Begitu sampai di Ikkudo Ichi, kami langsung memesan karena keadaan yang cukup ramai. Kupandangi sekeliling sambil menunggu pesanan kami datang.

"Aku jadi ingat liburan ke Jepang kita yang batal," Jonathan menarik perhatianku. Cowok itu tersenyum kecil dengan pandangan ke atas seolah ia tengah merecall kembali memorinya. "Anyway, kamu masih temanan sama cowok yang ngaku-ngaku pacar kamu itu?"

Aku meringis. Tentu tahu siapa yang Jonathan maksud dengan 'cowok yang ngaku-ngaku pacarku'. Kejadiannya sudah sangat lama. Saat aku masih duduk bangku kelas tiga dan Barra mulai berubah jadi menyebalkan. Long story short, karena stres ujian. Aku merencanakan untuk liburan ke Jepang. Naufal tidak bisa menemaniku karena ia sangat sibuk dengan kuliahnya. Kebetulan, Jonathan akan mampir ke Bali sebelum ia ke Jepang buat solo trip. Ia mengajakku untuk pergi bersamanya ketika aku menceritakan keinginanku yang mau liburan ke Jepang. Tentu saja aku menyambut ajakkannya dengan antusias. Barra yang mengetahui itu langsung marah dan melarangku pergi.

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang