BARRA
Perjalanan menuju restoran di kawasan Kuningan diiringi oleh tetesan hujan yang menepuk-nepuk atap mobil. Setelah memakai berbagai alasan menghindari Mami—kali ini gue nggak bisa lagi menolak. Mami bekerjasama dengan Resya mengosongkan schedule gue supaya gue bisa lunch dengan beliau.
Well, bukannya gue nggak suka ketemu Mami. Cuma setiap ketemu, pasti gue di suruh pulang terus baikkan sama Papi. Kenapa selalu gue yang dipaksa jalan duluan? Kenapa nggak Papi? Yang mengusir pertama kali kan Papi.
"Kamu itu bocah banget sih, Bar? Sama orang tua kok dendaman?!" Naura pasti ngomel gitu kalau dengar omongan gue.
Ah, Naura. Pembicaraan kami seminggu lalu memang diwarnai isak tangis. Menjadi kali kedua Naura melihat gue menangis dengan alasan yang sama. Gue sangat mengerti kesulitan yang di alami Naura. Kesalahan yang kami lakukan bukan sesuatu yang mudah dimaafkan.
Mungkin tidak akan seberat ini rasanya jika kami punya kesempatan untuk mengaku dosa. Gue bakal dengan senang hati menerima pukulan Naufal. Dia berhak melakukan itu. Lukanya nggak akan sebanding dengan apa yang Naufal rasakan andaikan dia tahu sahabatnya mengkhiantinya. Tapi gue nggak bisa melihat Naura menanggungnya. Gue nggak bisa melihat Naura terpuruk seperti dulu lagi.
Gue tahu gue nggak tahu malu karena masih menginginkan Naura setelah pengkhianatan gue. Gue juga mencoba melupakan Naura. Saat Naura memutuskan untuk pergi ke Paris—gue sama sekali nggak mencegahnya meskipun tahu kondisi mental Naura saat itu belum begitu stabil. Menutup telinga dari semua kabar tentang Naura selama di sana. Dan fokus pada karir gue. Tetap aja, gue gagal. Naura terlalu berarti untuk gue abaikan.
Apalagi begitu gue melihat sendiri gimana menderitanya dia—gue langsung berjanji pada diri gue sendiri untuk nggak pernah meninggalkan Naura apapun kondisinya. Mau dia yang mengusir gue atau dunia sekalipun. Gue akan tetap bersamanya. Bahkan saat Naura menjadikan gue pelampisaan sekalipun, dengan sukarela gue membiarkannya.
"Barra," gue masih megingat bisikkan Naura yang terdengar begitu pedih saat ia terbaring di bawah gue dengan kondisi kami yang sudah tak mengenakan sehelai benag pun. Naura memeluk bahu gue erat ketika pinggul gue bergerak di atasnya. "Ini nggak berarti apa-apa. It's just sex."
It's just sex. Bagaimana bisa gue menganggap yang kami lakukan hanya sekedar seks sementara dia wanita yang gue cintai setengah mati. Gue jelas kebaratan, namun di satu sisi gue nggak bisa melakukan apa-apa sebab gue tahu bukan gue cowok yang dicintai Naura.
Nggak peduli seberapa seringnya Naura mengatakan kalimat itu di setiap percintaan kami. Gue selalu memperlakukannya penuh cinta dan kasih. Ingin menunjukkan dari ciuman, sentuhan, dan setiap hentakkan yang gue lakukan di tubuhnya, kalau dia adalah wanita yang gue puja. Bagi gue, itu bukan hanya sekedar seks.
Meskipun sulit, gue ingin membuktikan pada Naura dengan memulai semua dari awal. Seperti dia yang memberi kesempatan pada cowok-cowok lainnya, gue juga ingin diberi kesempatan yang sama. Gue ingin diberi kesempatan mengambil hatinya dengan cara yang benar.
"Atas nama siapa, Pak?" tanya pramusaji restoran yang menyambut gue dengan senyum ramah. Gue menyebut nama Mami yang langsung ia anggukki kemudian mengantarkan gue pada private room.
Begitu pintu dibuka, wajah menua Mami menjadi apa yang pertama kali gue lihat. Sebelum wajahnya tak asing yang menatap gue datar membuat gue membuang napas. Ada Biancca. Kakak kandung gue.
"Barra, kenapa telat, Nak?" tanya Mami sedikit sebal.
"Macet, Mi," jawab gue seraya duduk di sisi kiri Mami. Di depan Biancca.
"Alasan kamu selalu klasik ya, Bar." Decak Biancca.
"Nggak percaya ya udah." Gue memangkat bahu cuek. Membikin wajah Biancca makin masam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
RomanceLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...