BARRA
Setiap penyanyi pasti pernah merasa gugup sebelum tampil. Begitu pun gue yang sudah sepuluh tahun terjun dalam industri musik. Tapi gugup gue sekarang bukan karena gue nggak percaya diri sama penampilan gue sih. Melainkan gugup karena terlalu excited.
Bisa bernyanyi di depan orang-orang yang menyukai musik gue udah kayak healing buat gue. Sebab itu, kalau encore gue bisa sampai dua jam gara-gara gue masih belum puas bernyanyi untuk penonton yang sudah bersedia menghabiskan uang, waktu, dan tenaga buat nonton konser gue.
Konser sudah dimulai sejak satu jam yang lalu. Bertempat di ICE BSD, gue tersenyum begitu kembali ke panggung usai mengganti baju di backstage yang super sibuk.
Semua yang pernah menjadi panitia konser pasti tahu gimana caos-nya backstage. Semua harus serba cepat karena diburu waktu. Dan Resya yang memang orangnya panikkan seharusnya tidak usah diikutsertakan karena tadi hampir aja kepala gue benjol—sebab cowok itu kelewat panik ngeliat gue ngos-ngosan, lalu menabrak badan gue sampai gue menyenggol tiang besi.
"Astaga, Barra! Lo kenapa? Medis! Medis! Ih, ini medis kemana sih?" begitulah suara cempreng Resya yang berteriak panik sampai bikin kuping gue hampir tuli.
Tapi apapun yang terjadi di backstage. Gue nggak bisa membawa hal itu saat sudah berdiri di atas panggung. Seperti biasanya, pasti ada sesi chit chat sebelum gue mulai bernyanyi. Which is, bagian yang paling gue sukai. Berinteraksi dengan penonton membuat energi gue makin terisi. Bisa dibilang, kalau soal fan service gue jagonya. Makanya gue nggak heran kalau fans gue kebanyakkan perempuan.
"Gue baru aja hampir gegar otak gara-gara kepanikkan manajer gue." Cerita gue yang mengundang gelak tawa. Sembari membawa langkah menjauhi main stage ke tempat yang lebih dekat dengan penonton, gue melanjutkan, "Makanya, gue berpikir buat cari manajer baru. Kira-kira ada yang mau daftar?"
Sontak seisi studio mengangkat tangan sambil menjerit.
"AKU! AKU!"
"AKU MAU MAS BARRA! NGGAK DIBAYAR NGGAK APA-APA DEH."
"JANGANKAN JADI MANAJER. JADI JONGOS PUN AKU MAU!"
"PECAT RESYA! PILIH SAYA!"
Gue ketawa. Celetukkan fans memang selalu menghibur hati gue.
"Tuh dengar, Sya. Banyak yang mau jadi manajer gue!" tukas gue yang pasti di dengar Resya di belakang panggung sambil misuh-misuh. "Resya kemarin mau berhenti jadi manajer gue karena ngeliat cowok ganteng dikit. Gue jadi penasaran, kalau ada cowok yang lebih ganteng dari gue. Barlov bakal berpaling nggak ya?"
"NGGAAAAAAAAAK!!!!!"
"KAMU YANG PALING GANTENG, SAYANG!"
"MAU SEGANTENG SONG KANG PUN! ENGKAU TETAP YANG PALING KUCINTA BARRA!"
Gue tersenyum lebar. "Nggak diragukan. Kesayangan gue, Barlov memang paling setia. Kalau kalian berpaling dari gue, gue pasti sedih banget sih." Lanjut gue sambil masang ekspresi sedih.
"HUHU JANGAN SEDIH GANTENG!!!! CINTAKU PADAMU TAK AKAN PERNAH PADAM."
"ANIYAAAA, KAMI NGGAK AKAN BERPALING DARI OPPA!"
"So," gue menarik napas. "Untuk semua kesayangan gue. This song for you, baby."
Teriakkan kembali terdengar bersamaan dengan alunan musik mulai terdengar. Ini lagu keenam yang gue nyanyikan. Lagu yang belum pernah gue nyanyikan sebelumnya karena lagu ini memiliki arti tersendiri buat gue. Ya. Tak Bisa Bila Bukan Kamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
RomansLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...