NAURA
Aku pertama kali bertemu Jevan Harjanta di sebuah acara amal yang diadakan oleh keluarganya. Harjanta memang dikenal sebagai keluarga dengan tingkat kepedulian sosial yang tinggi. Aku nggak kaget Jevan memilih bersekolah di sekolah umum alih-alih sekolah elite. Kesederhanaannya menjadi salah satu hal yang membuatku penasaran tentang kehidupan Jevan.
Mendengar ceritanya tentang sekolahnya dulu membuatku menyesal kenapa dulu nggak mengikuti jejak Jevan. Pasti akan seru banget. Mana makanannya enak-enak lagi. Favoritku nasi Padang. Sumpah, meski makanan itu bikin beratku bertambah, aku nggak bisa menolak kalau Jevan sudah menawarkan nasi Padang sebagai makan siang kami.
"Je, jangan nasi Padang. Please. Aku nggak mau gendut di acara fashion show-ku." Potongku ketika Jevan membuka mulutnya.
Jevan tertawa. Kedua lesung pipinya langsung terbentuk. "Yaudah, kamu mau makan apa?"
"Apa aja. Yang nggak bikin gendut."
"Bentar. Aku cari dulu ya." Aku mengangguk. Memperhatikan Jevan yang mengeluarkan ponselnya. Mengotak-atiknya dengan ekspresi serius. Berbeda dengan Barra yang pasti akan balas mendebatku ketika aku menolak menu pilihannya—Jevan nggak begitu. Even aku bilang terserah saja, dia nggak akan mengomel kayak Barra. Jevan itu sabar banget. Kelembutan Linda Sukma Harjanta—Ibunya Jevan—turun pada putra satu-satunya.
Sama sepertiku, Jevan dua bersaudara. Kakaknya, Kylandra Harjanta adalah seorang businesswoman sekaligus direktur di LMC Studios Internasional. Harjanta bukan hanya bergerak dalam bidang media penyiaraan dan telekomunikasi, tapi juga manajemen investasi. Namun Jevan tidak tertarik untuk bekerja di perusahaan keluarganya. Jevan lebih tertarik pada game devolpment.
Sekarang cowok itu menyewa gedung yang nggak jauh dari butikku dan bekerjasama dengan beberapa teman-temannya yang juga menggeluti hal yang sama. Sebab itu, kami sering lunch bareng. Terkadang aku yang mendatangi Jevan atau sebaliknya. Tergantung siapa yang menyelesaikan pekerjaan lebih dulu.
"Fedwell aja gimana, Nau? Di sana pilihan menunya memang makanan enak yang rendah kalori."
"Fedwall punyanya Chef Renata ya?"
Jevan mengangguk.
"Okay, di situ aja," kataku yang menutup diskusi kami soal tempat lunch.
Ini yang kusuka dari jalan bersama Jevan. Tidak ada pertengkaran, tidak ada perdebatan, tidak ada yang teriak dan meneriaki. Aku menginginkan sesuatu yang tenang seperti ini. Tidak seperi Barra—aish, sepertinya aku harus berhenti membandingkan Jevan dengan Barra karena mereka memang dua manusia yang sangat berbeda.
Aku sudah benar-benar nggak peduli kalau memang Claire mengadu soal Jevan pada Barra. Meski hubunganku dengan Jevan hanya sebatas teman. Still, aku nggak mau Barra ikut campur. Sudah cukup ulahnya yang membuat semua teman cowok yang kumiliki kabur karena sikap Barra yang kelewat protektif. Mas Naren saja, selaku kakak kandungku tidak seberlebihan dia.
Sesampai di Fedwell, I quite love this place. Aku menyukai interiornya yang modern dan serba pink. Ini memang pertama kaliku. Sebab itu, aku bakal memperhatikan setiap sudutnya secara detail. Tidak ada alasan, aku suka saja melakuannya.
Aku memesan the hustle mustle dan tumpeng shirataki. Sementara Jevan memilih the don. Begitu kucicipi, aku terkejut dengan rasanya. Selama ini aku agak skeptis dengan restoran healthy food. Karena kebanyakkan makanan yang sehat itu nggak enak. Tapi sekarang aku menemukan restoran healthy food yang makanannya enak banget.
"Gimana, Nau? Enak?" tanya Jevan begitu menyadari kalau ekpresiku berubah begitu menyuap sensendok tumpeng shirataki ke dalam mulutku.
"Banget!" anggukku semangat. "Tumpeng Shirataki-nya mirip banget sama nasi tumpeng yang kita makan kemarin. Tapi healthier version gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
RomanceLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...