cinquante trois

5.2K 230 9
                                    

BARRA

Sometimes, Naura bisa jadi sangat keras kepala. Apalagi kalau ia sudah sangat percaya diri dengan pilihan yang diambilnya. Bila sudah begitu, nggak akan ada yang bisa menghentikan cewek itu. Bahkan gue sekalipun.

Terakhir kali gue menjemput Naura yang mabuk berat sekitar tiga tahun yang lalu. Saat itu kami bertengkar hebat. Naura berang dan mengatakan tidak akan pernah mau melihat gue lagi. Sementara gue yang juga terlalu marah membiarkan Naura pergi dengan air mata yang meleleh di pipinya. Gue takut jika gue bicara lagi. Kata-kata gue akan semakin menyakiti perasaan Naura.

Naura pecinta wine. Namun dia bukan tipe cewek yang suka mabuk. I can say, karena kebiasaan party-nya itu hanya terjadi ketika ia bergaul dengan teman-teman kuliahnya itu. Selama di sini. Naura bahkan bisa dihitung pakai jari menginjak kelab malam. Daripada dia, malah gue yang lebih sering datang ke tempat itu.

And who would have thought, gue akan mendapatkan telpon dari Ela yang mengabarkan Naura mabuk. Bukan mabuk biasa. Melainkan mabuk berat karena begitu gue tiba tempat berisik dan sesak itu, gue melihat Naura yang sudah tidak sadarkan diri. Wajahnya terbenam di lipatan tangannya. Ketika dipanggil, cewek itu malah mengerang marah. "Gue nggak mau pulang, La! Gue nggak mau ketemu Barra!"

"Well, sadly, baby. Karena suka nggak suka kamu harus pulang bareng aku." Tukas gue sembari melepaskan jaket dari tubuh gue buat menutupi punggung Nuara yang terbuka.

Ketika melihat pakaian apa yang ia kenakan—darah gue langsung melaju cepat sampai ke ubun-ubun. Rahang gue mengeras menahan omelan. Naura benar-benar tahu bagaimana cara membuat gue kesal. Shit! Bisa-bisanya dia memakai dress seterbuka ini. Tanpa gue di sampingnya!

Bukan hanya terbuka. Tapi dress itu terlalu ketat. Memeluk lekuk tubuh Naura dengan pas. Entah sudah ada berapa pasang mata cowok yang memelototi tubuhnya sejak tadi. Membayangkan aja bikin gue ingin membakar kelab ini.

"Dia bilang mau nginep di tempat gue." Suara Ela terdengar saat gue menarik tubuh Naura dalam dekapan gue. "Tapi dengan keadaan dia yang kayak gini, gue takutnya nanti gue dapat emergency call dan nggak ada yang ngurusin dia."

"Thanks," gue menoleh sebentar. "Udah nelpon gue."

Bukan gue tidak menyadari kalau Ela sejak dulu memang waspada pada kehadiran gue. Setiap kali gue menjemput Naura ke sekolah, Ela selalu menatap gue dengan pandangan curiga—dulu gue sempat was-was, takut Ela tahu gue menyukai Naura. Makanya dia begitu. Ternyata dugaan gue benar. Ela sudah lebih dulu peka kalau perhatian yang gue berikan pada ada maksud lain. Makanya, gue selalu menjaga jarak dengan Ela.

"Dia bilang dia marah sama lo. Nggak mau ketemu lo. Tapi seperti yang lo lihat sendiri. Di saat yang bersamaan dia juga frustasi karena nggak bisa ketemu lo." Ucap Ela ketika kami sampai basement dan Naura sudah duduk di jok mobil. "Cepat baikan deh kalian. Naura orangnya gampang dibujuk kok."

Gue mengangguk. "Sekali lagi, thanks,  La."

"Ur welcome,"

Begitu Ela berlalu bersama mobilnya, gue baru masuk ke dalam mobil. Memasang seatbelt sembari menatap Naura yang tertidur pulas. "Silly you. Seharusnya kalau kangen tinggal datang ke apartemen aku, bukannya mabuk-mabukkan." Gue mengulurkan tangan. Menyelipkan rambut Naura ke belakang telinga lalu merendahkan sandaran jok mobil agar Naura bisa tidur dengan nyaman.

Tentunya gue nggak langsung menarik diri, gue pandangi dulu wajah Naura dengan seksama, kemudian mendengus geli saat menyadari kalau kami berdua konyol banget bertengkar hanya karena sesuatu yang sepele.

"Aku nggak akan minta maaf karena sikapku sama teman-teman kamu. Tapi aku minta maaf karena bikin kamu marah. I'm sorry. And I love you. Marahan sama kamu bikin duniaku berantakan. Padahal aku pengen ketemu kamu. Kangen banget sama kamu, My little pumpkin." Gue mengecup bibir Naura, tersenyum kecil sebelum akhirnya menarik badan dan menjalankan mobil menuju apartemen.

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang