cinquante

3.5K 226 6
                                    

NAURA

Keluarga Salim adalah keluarga konglomerat yang sepak terjangnya dalam dunia bisnis diakui. Mereka cerdas, inovatif, dan berani mengambil resiko. Sayangnya hal itu juga dibarengi dengan kelicikan. Memang tidak semua pebisnis begitu. Tapi reputasi Salim soal ini bukan hanya sekedar gosip. Sudah banyak bukti, musuh mereka dimana-mana. Mungkin karena itu, Mama khawatir aku akan ikut terseret jika masuk ke dalam keluarga mereka. Mama hanya tidak mau putrinya terluka. I understand that.

Pesta ulang tahun Maharani diadakan di salah satu hotel bintang lima milik Salim. Tamu undangan sudah banyak yang hadir ketika aku dan Barra memasuki ballroom. Ini menjadi pertama kalinya kami muncul berdua di publik sebagai sepasang kekasih.

Sebab itu, aku tidak heran jika banyak mata yang memandangi kami. Kendati isu Barra berselingkuh denganku sudah dibantah. Tetap saja, hal itu nggak membikin namaku langsung bersih seketika.

Aku nggak mau terlalu memikirkan hal itu. Mereka bisa bicara apa saja tentangku. Aku tidak memiliki kewajiban untuk membenarkan kekeliruan yang mereka simpulkan sendiri.

"Maharani selalu berlebihan," Barra menggerutu di sampingku. Terlihat sekali dia tidak menyukai berada di sini. "Apa spesialnya ulang tahun sampai harus dirayain sebegininya?"

Aku tertawa kecil. Mengelus dadanya lembut. "Ini bukan soal ulang tahun. Tapi harga diri. Masa cucu Rudi Salim ulang tahunnya dirayain biasa aja?"

"That's why I hate him." Barra menipiskan bibirnya. "Aku bahkan nggak mau ketemu dia."

"Dia kakek kamu."

Barra berdecak. "Dia kakek yang cuma sayang sama cucunya yang dia anggap berguna. Aku nggak berguna. Jadi aku bukan cucunya."

Aku sudah cukup tahu apa saja yang sudah Barra alami sejak ia kecil. Tekanan bukan hanya berasal dari Papinya. Tapi juga kakeknya yang terkenal otoriter dan keras. Saat Barra menyatakan ketertarikannya bermusik, Barra langsung dikecam. Alat-alat musik yang ia punya dibakar.

Barra juga sering diacuhkan oleh kakeknya karena dia tidak pintar seperti yang lain. Bahkan ketika dia adu jotos dengan Mahadewa sampai wajahnya babak belur—Barra tidak dibela. Tetap ia disalahkan, padahal Mahadewa duluan yang memulai. Barra baru berumur tujuh tahun. Tubuhnya masih kecil. Tidak sebanding dengan Mahadewa yang saat itu sudah lulus SMP.

"Kamu masih marah sama dia?" tanyaku lembut.

"Nggak ada gunanya aku marah, Nau. Dia tetap nggak akan merasa bersalah. Aku cuma pengen hidupku tentram sama kamu."

"Then we have to pass this." Ucapku. Menggenggam tangan Barra. "Sekarang kan udah ada aku. Kamu nggak sendirian lagi."

Barra menatapku lekat-lekat. "Oh, I really want to kiss you right now." Wajahnya yang hendak mendekat membuatku menahan dada Barra.

"Jangan sekarang." Bisikku. "Di sini ramai."

"Berarti kalau udah di tempat sepi, aku boleh cium kamu?" Barra menyeringai.

"Bukannya kamu selalu ngelakuin itu, bahkan lebih, kalau kita lagi berdua?"

"You are right," Barra mengerling. Mengelus pinggangku yang sejak tadi ia rangkul.

Acara belum dimulai. Keberadaan Maharani pun belum nampak. Aku dan Barra akhirnya memutuskan untuk duduk di sebuah meja yang untungnya kosong—sehingga kami tidak perlu melakukan basa-basi. Sebenarnya aku nggak keberatan melakukannya. Tapi Barra bukan tipe orang yang suka menyembunyikan ekspresi malasnya.

"Pernikahan kita nanti ... " Barra memainkan tangkai gelas sampanye-nya. "Kamu mau pesta yang meriah?"

Aku tersenyum. "What about you?"

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang