NAURA
"I told you, sweety. Kamu pasti suka sama cowok yang Mama pilihin."
"Nggak mungkin nggak suka. He's my old friend, Mam. Seharusnya Mama nggak perlu pakai rahasia-rahasiaan kemarin."
"Mama kan mau kasih surprise. So, kalian udah pacaran? Kapan kamu ajak Jonathan ke rumah? Atau Mama sama Papa aja ke Bali, ngelamar Jo buat kamu?"
Aku memutar bola mata. Menopang kepalaku dengan telapak tangan lalu membalas ucapan Mama. "Pacaran apa sih Mama."
"Lho? Bukannya kalian udah sering jalan bareng?"
Keningku mengerut. "Mama tau darimana?" akhir-akhir ini—oh, tidak, lebih tepatnya after blind date yang di atur Mama, aku dan Jonathan memang sering ketemu.
"Mama tanya ke Jo langsung dong."
"Mama jangan berekspektasi dulu. Aku sama Jo masih belum ke arah sana."
"Belum berarti akan?"
Aku membuang napas. "Intinya, Mama tunggu aja dan jangan banyak berharap. Okay?"
Tahu pembicaraan ini akan terus berbuntut panjang bila tidak disudahi, aku pun mengakhirinya dengan alasan ada panggilan dari klien. Kutaruh ponsel di atas meja. Di samping Ipad yang menampilkan gambar desain yang kubuat di sela-sela waktuku menunggu kedatangan Jonathan.
Di Sabtu pagi ini, aku breakfast di sebuah kafe—Grandis—yang tidak terlalu jauh dari apartemenku. Everyone knows kemampuan memasakku buruk banget. Aku juga sedang malas sarapan dengan sereal. So, Grandis is the place that saves me from hunger pangs in the morning. Tahu sendiri aku tidak bisa kalau tidak sarapan. Karena jam sepuluh nanti aku akan pergi bersama Jonathan buat nemenin dia ke IKEA. Aku pun memesan menu lain yaitu segelas kopi dan croissant.
Barra tidak sedang berada di Jakarta, anyway. Hal itu juga yang membuatku berani saja bertemu dengan Jonathan di kawasan apartemenku. Aku tidak tahu bagaimana hubungan Barra dengan pacarnya. Something tells me mereka belum sedalam itu. Artinya, Barra belum benar-benar melepaskanku dari pengawasannya.
Saat ini aku dalam mode menghindar dari Barra. Tidak sepenuhnya. Aku hanya sedang tidak mau bertemu secara langsung dengan cowok itu. For an undetermined time.
Barra masih sering mengirimkanku chat, yang kubalas seperti biasanya agar Barra tidak curiga. Sometimes, his intuition was astonishing. Sebaiknya Barra tidak tahu kalau aku sedang to know each other dengan Jonathan. Aku tidak ingin dia kembali membuat onar di kehidupanku.
"What are you dreaming about, peach?" tepukkan lalu berganti dengan usapan lembut dibahuku membuatku melepaskan topangan dagu. Menatap sosok Jonathan yang nampak menawan di pagi hari ini. Ia memakai kaos putih dipadu dengan celana jeans. Senyumnya yang selalu sehangat matahari mampu membuat cewek-cewek menoleh lalu terpaku sejenak. Termasuk aku yang tidak berkedip selama sekian detik karena terpesona.
Jonathan memang memesona. Dulu ia barhasil membuatku jatuh hati. Tidak akan sulit jatuh hati untuk kedua kalinya pada dia, kan?
"Aku nggak tahu kamu bikin laporan soal kita ke Mama," sindirku yang membuat cowok di sebelahku tertawa.
"Sorry, kamu tahu, nggak mudah keluar saat Mama kamu sudah menyeret aku masuk." Sesalnya. "Kalau kamu nggak suka, I promise, aku nggak akan lagi laporin apa-apa soal kita ke Mama kamu."
Tentu saja aku tahu bukan salah Jonathan. Mama memang sepemaksa itu bila menginginkan sesuatu.
"Kamu udah sarapan?" tanyaku. Mengalihkan pembicaraan. "Scream bread di sini enak banget. Kamu musti coba."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
RomantikLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...