NAURA
"Mbak, ada Mas Barra di bawah."
Ucapan Kintan berhasil membuat konsentrasiku buyar. Aku bahkan sudah lupa berapa angka yang kudapatkan ketika mengukur bahan kain.
"Bilangin saya nggak ada di kantor, Kin."
"Sudah, Mbak," suara Kintan bergetar takut. Sebagai asisten, Kintan yang paling tahu bagaimana mood-ku saat sedang fokus bekerja lalu tiba-tiba diintrupsi. Kepalaku yang tadinya menunduk lantas mendongak. Menatap Kintan yang berdiri gugup di depan pintu ruanganku. "Tapi Mas Barra bilang bakal nunggu Mbak Naura."
Aku mendesah sambil memejamkan mata. Kulepaskan meteran di tanganku kemudian berkacak pinggang.
Sejak kepulangan Barra dari Medan tiga hari yang lalu—aku melakukan segala upaya mengindar darinya. Mulai dari mengungsi ke apartemen Ela, mengabaikan telpon dan juga chat-nya, tidak membawa mobil ke butik, dan memberitahu semua karyawanku untuk tidak memberitahu pada Barra jika aku ada di butik.
Kupikir Barra akan menyerah, atau at least, dia membiarkannya begini karena aku yakin dia sedang sibuk sekarang. Namun seharusnya aku tahu, Barra bukan orang yang gampang menyerah.
"Mas Barra sekarang di waiting room. Udah satu jam." Kintan menambah informasinya, yang membuatku membalikkan badan dan menatapnya datar.
"Biarin aja. Nanti dia juga pulang sendiri." Kataku dingin.
Kintan mengangguk paham. Lantas menarik kakinya mundur dan menutup lagi pintu ruangan. Seperti tadi, tidak ada lagi suara yang terdengar. Saat bekerja, aku memang menyukai suasana hening seperti ini agar aku bisa tenggelam dalam imajinasiku. Tidak membiarkan variabel-variabel lain mempengaruhi otakku. Termasuk Barra—seseorang yang paling ingin aku hindari saat ini.
Namun mengenyahkan Barra dari otakku bukan perkara mudah.
Kakiku mengayun ke jendela, mengintip ke luar, melihat range rover milik Barra terparkir di sana. Aku menggigit bibir, memaku kakiku agar tidak keluar dari ruangan dan menemuinya.
Enough, Naura. Bartemu dengan Barra di situasi begini bukan pilihan bijak.
Aku sudah menduga Barra akan langsung mencariku ketika aku tidak mengangkat panggilannya setelah kejadian aku dan Jonathan hampir berciuman—atau sebenarnya sudah.
Tanganku terkepal kuat, kemudian menyentakkan kepala saat ponselku berdering. Melihat ada chat dari Jonathan.
Jonathan
Aku boleh ke butik kamu?Jonathan
Sekalian dinner, aku bawa makanan ke sana, boleh?Aku menghela napas. Menggerakkan jariku di atas keypad.
Naura
Next time ya, Jo. Aku lagi sibuk banget sekarang.Setelah chat itu terkirim lalu dibaca, aku meletakkannya lagi ponselku di atas meja—tanpa berniat melihat balasan dari Jonathan.
Bukan hanya pada Barra. Aku pun melalukan hal yang sama pada Jonathan. Sejak kejadian di apartemennya, aku kembali mengingat diriku beberapa tahun yang lalu. Naura yang kehidupannya begitu fucked up. Dan aku tidak ingin kembali ke masa itu. Masa-masa dimana hidupku sangatlah suram. Jonathan bukan orang lain. Aku tidak mungkin memperlakukannya buruk.
Kulemparkan kembali pandanganku ke jendela. Menyandarkan badanku di pinggiran meja, memandang kosong langit yang mulai kelabu. Seolah ingin mengejek suasana hatiku sekarang.
Don't cross the line, Barra. Please. Don't.
***
BARRA

KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
RomansaLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...