NAURA
Hal yang pertama kali kusadari ketika mataku terbuka dan kesadaranku mulai terbangun adalah...aku tidak sendirian di atas tempat tidur. Dekapan hangat dari belakang yang menyelimuti tubuhku semalaman beserta dengan aroma tubuh yang tidak asing sudah menjelaskan siapa sosok itu. Untuk kesekian kalinya, aku kembali terbangun dalam dekapan Barra. Dan lagi-lagi, nama Naufal akan langsung muncul di benakku.
Setiap kali aku terbangun dalam situasi ini, aku tidak dapat menjelaskan apa yang sebenarnya kurasakan. Di satu sisi aku merasa sangat nyaman. Namun di sisi lain, ada perasaan yang masih betah menjanggal.
Hubunganku dengan Barra makin rumit sejak kepergian Naufal. Aku tentunya sadar, tidak ada teman yang seperti kami. Aku dan Barra terlalu dekat untuk disebut sebagai teman. Terlalu jauh untuk dikatakan musuh. Nggak ada kata yang tepat untuk mengambarkan hubunganku dengan Barra. Baik aku dan Barra pun tidak berminat untuk mencari tahunya.
Atau sebenarnya kami terlalu takut untuk mencari tahu.
Aku menghela napas. Lantas menyingkirkan tangan Barra dari pinggangku. Kubalikkan tubuh, melihat cowok itu sama sekali tidak terusik oleh gerakkan kecilku. Niatku yang awalnya hanya ingin memastikan Barra tidak terbangun berubah menjadi memandangnya lama. Cukup lama sampai-sampai aku larut dalam perasaanku sendiri. Kupejamkan mata, menggelengkan kepala seolah ingin mengusir apapun yang tengah kurasakan saat ini.
Aku kemudian menurunkan kakiku dari tempat tidur. Ingin keluar dari kamar. Baru saja aku akan bangkit berdiri, aku langsung dibuat meringis oleh rasa sakit di pergelangan kakiku. Spontan kugigit bibir kencang, mencegah suaraku keluar lebih kencang. Kuputar kepalaku ke belakang. Lalu bernapas lega tatkala mendapati Barra masih tidur dengan nyenyak.
Pelan-pelan, aku melangkahkan kaki menapaki lantai. Sampai akhirnya aku bisa menjangkau pintu—kuputar ganggangnya lalu menariknya untuk keluar dari kamar.
Butuh waktu cukup lama buatku bisa sampai dapur. Kuraih kotak sereal dan susu sebagai sarapanku pagi ini. Aku tipe orang yang tidak bisa melewatkan sarapan. Bila itu terjadi, pengaruhnya bukan hanya pada perutku. Tapi juga mood-ku. Aku bisa marah-marah pada semua orang bila aku belum sarapan.
Aku menguap sebentar. Kantuk masih sedikit menguasaiku. Sepertinya segelas kopi akan sangat membantu. Lantas aku mencoba berdiri dari kursi. Belum sempat aku berdiri dengan benar, suara gebrakkan pintu lalu disusul dengan langkah tergesa-gesa Barra membuatku menoleh.
"Nau, kenapa nggak bangunin aku sih?" omelnya dengan ekspresi campur aduk. Ada kesal dan juga khawatir. Cowok itu langsung memegang kedua bahuku begitu jarak kami memendek. Matanya menelusuri tubuhku dari atas sampai bawah dengan matanya membulat. "Kaki kamu nggak apa-apa? Kamu tadi ada jatuh?"
Aku menghela napas. Menurunkan tangan Barra dari bahuku. "Aku nggak apa-apa, Barra. Jarak kamar sama dapur nggak jauh. Buat apa aku bangunin kamu?"
"Buat apalagi kalau nggak jagain kamu." Tukasnya. Terdengar agak sebal. "Kaki kamu itu masih nggak baik-baik aja. Kalau sampai kamu jatuh lagi, nanti malah jadi lebih parah. Kamu sehe—"
"Okay, stop, stop," aku mengangkat tangan. Menghentikan Barra. "Sarapanku belum habis. Aku nggak mau kenyang gara-gara makan omelan kamu."
Cowok itu menipiskan bibirnya. Kelihatan belum puas untuk mencecarku. Dua detik kemudian, dia menghela napas. Tatapannya sudah nggak segalak tadi. "Kamu butuh apa?" tanyanya dengan suara melunak.
"Aku mau buat kopi."
"Yaudah, duduk aja," Barra menekan bahuku agar kembali duduk di kursi. "Biar aku yang buatin."
Aku tidak mendebatnya. Percuma saja. Barra pasti tidak akan mau mengalah. Sambil menghabiskan sereal, aku sekali-kali mencuri pandang pada sosok Barra yang tengah menyalakan mesin kopi. Sebenarnya aku ingin bertanya apa yang terjadi semalam. Apa aku kembali mimpi buruk hingga cowok itu berakhir di atas tempat tidurku dengan kondisi ia memelukku. Namun sebagian hatiku menahanku untuk bertanya sebab tahu ujungnya hanya akan membawa kami pada sesuatu yang sentimentil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
RomanceLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...