trente six

3.8K 282 21
                                    

NAURA

"Gimana Mama?"

Pertanyaan Mas Naren membuatku berhenti menyendok bubur yang kunikmati di kantin rumah sakit. Mendongak untuk mendapati kakak sulungku yang nampak sangat lelah sehabis melakukan operasi berjam-jam lamanya.

"No response." Aku mengangkat bahu. Mengulas senyum kecut. "Aku nggak tahu harus gimana yakinin Mama, Mas."

Mas Naren menatapku prihatin. Tangannya terulur, mengusap puncak kepalaku. "Jangan nyerah. Mama cuma butuh waktu kok."

Aku mengangguk. Meyakini hal yang sama. Lagipula, baru beberapa hari berakhirnya hubungan Barra dan Razalea di announced. Akhir-akhir media sibuk sekali membahas berita itu. Membuat teori-teori penyebab kandasnya hubungan mereka—sebab tak ada yang percaya kalau alasan mereka putus karena sama-sama sibuk. Menilik dari shipper Barra dan Razalea banyak yang fanatik, aku rasa butuh waktu yang cukup lama untuk bisa melupakan couple favorit mereka itu.

"Kamu jangan dulu ketemu Barra," peringat Mas Naren serius. "Terlalu bahaya kalau kalian kelihatan berdua di saat-saat begini."

Well, Mas Naren melakukan research soal Barra, Razalea, dan fans mereka. Yeah, kakakku ini memang seperhatian itu pada orang-orang yang disayangnya. Padahal aku tahu banget Mas Naren tidak pernah tertarik dengan gosip-gosip selebriti manapun. Dia juga gaptek dalam memainkan sosial media.

"Mungkin mereka nggak menyerang kamu secara langsung." Sambung Mas Naren. "Tapi komentar-komentar di media sosial sama berbahayanya. Terlebih kamu orangnya gampang kepikiran."

Aku hanya manggut-manggut malas.

"Kamu dengar Mas kan, Naura?" tegas Mas Naren.

Wajahku mendongak. "Iya, Mas. Aku dengar kok. Buktinya namaku sampai sekarang nggak ada dibawa-bawa, kan? Lagian ya, Mas. Kalaupun aku kelihan jalan sama Barra, selama kami nggak kontak fisik yang berlebihan. Mereka nggak bakal nyeret namaku kok. Mereka udah pada tahu aku sama Barra temanan lama."

Memang benar. Fans Barra mengetahui aku sebagai teman dekat Barra. Dulu sempat ada berita kami pacaran, tapi karena sejauh ini kami masih bersikukuh hanya berteman. Lambat laun media dan netizen percaya kami hanya sebatas sahabat.

Meskipun begitu, aku tetap nggak bisa menyusul Barra. Padahal aku punya waktu luang. Dan Barra kularang ke Jakarta. Awalnya Barra keberatan. Namun setelah Mas Naren yang bicara sendiri, cowok itu tidak punya pilihan lain selain mengiakan.

"Dapat restu Mama kamu aja belum. Masa aku mau macam-macam sama kakak kamu. Makin sulit nanti aku buat sama kamu." Keluh Barra di sela-sela curhatannya tentang hubungan kami.

"Sekarang kamu bisa mengiakan ucapan, Mas." Tatapan Mas Naren nampak skeptis padaku. "Coba nanti kalau udah ngobrol sama Barra. Kamu luluh lagi. Mas tahu, kamu itu kalau udah sayang sama cowok bakal bucin banget."

Bibirku mengerucut. "Siapa yang bucin sih?" sahutku tak terima. "Mas juga darimana tahu kata 'bucin'? Siapa yang ngajarin?"

"Pasien Mas banyak pakai kata-kata itu." Balasnya. "Intinya, kalian berdua harus bisa menahan diri sampai keadaan sudah aman dan stabil. Paham?"

"Hm," gumamku malas.

"Naura," tegur Mas Naren.

Aku menghela napas. Menganggukkan kapala. "Iya, Mas. Naura paham."

Selepas breakfast dengan Mas Naren, aku melanjutnya ngopi bersama Ela. Kami duduk kafe yang bersebelahan dengan kantin tempatku sarapan bareng Mas Naren.

"Padahal gue mau kasih lo kesempatan breakfast sama Mas Naren." Desahku kecewa karena rencanaku gagal. Selain ingin curhat soal respon Mama ketika kuberitahu Barra dan Razalea sudah putus, aku juga berniat semakin mendekatkan Ela dengan Mas Naren. Ela sudah banyak membantuku belakangan ini. Aku juga mau melakukan hal yang sama padanya. Aku yakin, Mas Naren hanya terlalu fokus pada pekerjaannya sampai tidak menyadari ada cewek sesayang itu padanya.

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang