NAURA
Pemberkatan pernikahan kami dilakukan di salah satu gereja di Jakarta. Beberapa hari sebelumnya, aku dan Barra masih tinggal bareng. Nggak seperti satu bulan yang lalu dimana kami sering berkonflik. Mendekati pemberkatan pernikahan, aku dan Barra malah sangat tenang.
Waktu kami lebih banyak dihabiskan dengan duduk diam di balkon menikmati matahari tenggelam. Malamnya pun begitu. Aku akan tertidur di dalam pelukan Barra tanpa suara. Tidak banyak yang kami bicarakan. Seolah kehadiran satu sama lain sudah cukup.
Bohong sekali jika aku mengatakan tidak gugup. Tentu saja aku gugup. Meskipun yang akan kunikahi adalah cowok yang aku inginkan. Membayangkan diriku sebentar lagi akan menjadi seorang istri—membuatku bertanya-tanya apakah aku bisa? Apakah aku mampu?
Well, keraguan ini berasal dari rasa tidak percaya diriku pada diri sendiri. Bukan pada Barra. Sebab aku tahu, cowok itu sudah sangat siap. Akupun percaya dia akan menyayangiku dengan sepenuh hatinya. Menjagaku sampai nyawanya akan ia korbankan. Barra mencintaiku sebesar itu. And I know that.
Cuma aku nggak bisa mengendalikan perasaanku. Semua yang sudah menikah mungkin bisa relate. Sometimes, kita butuh sedikit keraguan untuk bisa benar-benar yakin. Right?
Sebab keraguan yang kurasakan sekejap hilang begitu aku melihat Barra berdiri di altar. Sangat gagah. Sangat tampan. Sangat memesona. Dengan tuxedo putih yang membalut tubuh sempurnanya, cowok itu tersenyum ke arahku. Mengukir bolongan kecil di sebelah kiri pipinya. Menatapku penuh keyakinan—bahwa apapun yang terjadi kedepannya, aku selalu bisa mengandalkan dan bersandar di bahunya.
Gugup? Takut? Khawatir?
I even forgot I ever felt it.
Sekarang, hanya dengan melihat Barra. Staring into his eyes, I realized that I had made the right decision for my life.
"Sweetie," suara Papa membuatku menoleh. "Are you ready?"
Meskipun Papa saat ini tersenyum padaku. Matanya tidak bisa berbohong. Ada kesedihan yang berusaha ia sembunyikan. Membuatku menggigit bibir oleh perasaan haru yang tiba-tiba mendesak. Mataku terasa panas saat menatap wajah tua Papa. Kepalaku memutar kilas-kilas balik saat aku masih menjadi gadis kecil kesayangannya.
Well, sampai sekarang Papa masih menganggapku gadis kecilnya. Sebab dia lebih sering memanggilku "sweetie' alih-alih namaku.
"Sweetie, why are you crying?" Papa adalah pria pertama yang menghapus air mataku. "It's okay. Papa di sini. It's okay." Ketika aku mimpi buruk, jatuh, atau sedih, Papa selalu ada. Menghiburku dengan pelukan dan juga cerita-cerita lucunya.
Aku selalu memimpikan memiliki pasangan seperti Papa. Makanya ketika bertemu Jonathan dan Naufal, aku dengan mudah menyukai mereka. Karena di dalam kepalaku. Mereka adalah sosok sempurna. Yang akan menyayangiku seperti Papa lakukan. You know, a father is a daughter first love.
Jonathan dan Naufal memang laki-laki baik. Aku tidak meragukan hal itu. Namun Barra berbeda. Cowok itu membuatku jatuh hati dengan dengan caranya sendiri. Mencintai kelebihan dan kekurangannya. Apa yang kurasakan pada Barra terasa begitu dalam hingga aku mengerti makna dari cinta yang sesungguhnya. Tidak ada lagi keraguan ketika aku menganggukan kepala pada Papa.
"Yes, Pa." Ucapku yakin. "I'm ready."
Papa tersenyum lembut. Mengusap punggung tanganku yang memegang lengannya. "You know, Papa loves you very much, right?"
"I know." Anggukku menahan tangisan.
"Then, be happy," tutur Papa. "You always be Papa's little girl. So, don't worry. Meskipun setelah ini sudah ada yang menggantikan Papa untuk menjaga kamu. Kamu tetap selalu bisa datang ke Papa saat kamu membutuhkan Papa."

KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
RomanceLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...