BARRA
Gue pikir kesibukkan gue akan membuat gue bisa sedikit menepikan Naura di dalam otak gue. Nyatanya, tidak peduli segila apapun schedule gue, pasti akan ada waktunya gue memikirkan dia. Selain road tour, gue juga ada syuting untuk konten youtube, promosi radio, dan juga meet and great.
Pagi-pagi gue sudah dibangunkan Resya, diantar kesana kemari. Dijejali skenario. Latihan. Gladi resik sebelum konser—yang membuat gue sampai hotel tengah malam dalam keadaaan yang capek maksimal.
Seharusnya dalam kesibukkan yang mencekik, gue nggak mikirin Naura, kan? Sayangnya Naura memang sudah terlalu menempel di hati dan pikirin gue.
Makanya kalau di dalam mobil, gue lebih memilih menyumpal telinga gue dengan earphone. Menyetel musik keras-keras biar fokus gue hanya tertuju pada irama dan juga lirik. Sebab satu-satunya yang mengalihkan perhatian gue dari Naura hanya musik.
Samarinda adalah kota kesepuluh yang gue sambangi sebelum tiga hari lagi gue akan ke Balikpapan. Yeah, dalam waktu dua bulan, sudah sepuluh kota yang gue datangi. Selesai dengan kota-kota di Indonesia. Setelahnya, Asia tour gue dimulai dari Kuala lumpur, Manila, Singapore, Bangkok dan Hongkong.
Artinya selama lima bulan, gue nggak bisa ketemu Naura. Well, sebenarnya bisa-bisa aja kalau masih di wilayah Indonesia. Konser dua tahun yang lalu, gue sering mencuri waktu buat flight ke Jakarta hanya buat satu jam ngeliat wajah Naura secara langsung.
Sayangnya gue nggak bisa melakukan itu demi menghargai keinginan Naura yang minta waktu sendiri. Gue memang mau Naura segera bangkit dari keterpurukkanya. Tapi gue nggak bisa melihatnya berjuang sendiri. Gue sudah membiarkannya sekali. Alih-alih membaik, Naura malah makin kacau. Tapi kali ini gue mencoba percaya pada Naura. Meskipun risiko dari yang gue ambil ... gue bisa aja benar-benar tak memiliki kesempatan lagi. At least, gue ingin Naura bisa lepas dari rasa bersalahnya.
Memikirkan hal itu kadang membuat mood gue turun. Mana gue nggak bisa nelpon Naura hanya buat mengobati kangen gue. Setidaknya kalau nggak bisa melihat wajahnya, gue pengin mendengar suaranya gitu.
"Barra,"
Mata gue sedang terpejam saat mendengar suara Resya yang memanggil gue dengan nada was-was. Dia sepertinya sudah trauma melihat perubahan suasana hati gue selama road tour ini. Sebagai yang paling dekat dengan gue, Resya memang sasaran utama pelampiasan gue ketika gue sedang badmood. Sekali disenggol gue bisa ngamuk.
Resya nggak bisa balas ngamuk karena gue kooperatif menjalani schedule dan rundown konser. Ditambah gue nggak pernah lagi tiba-tiba ngilang lalu tahu-tahu pulang ke Jakarta di tengah kegiatan. Bayaran untuk kepatuhan gue tentu saja dia harus menerima suasana hati gue yang berubah-ubah ini.
"Hm?"
"Em ... gimana ya gue ngomongnya?"
Gue membuka mata. Mengangkat salah satu alis dan menyadari kalau Resya kali ini beneran gugup dan gelisah. "Ya, ngomong aja."
"Ntar lo marah."
"Kalau lo nggak jelas kayak gini gue juga bakal marah."
Resya membuang napasnya. Menggigit bibir takut-takut. "Barra ... sorrrrrrrry banget. Kayaknya kita harus putar balik ke hotel deh."
Salah satu alis gue naik. "Kenapa?"
"Radionya ternyata mulai jam sebelas." Resya kemudian nyengir. "Sorry. Gue kira jam tujuh. Hehe."
Seketika darah gue naik sampai ke ubun-ubun. Gimana nggak coba. Gue sampai hotel jam 2 pagi terus meeting sebentar dan baru benar-benar tidur pukul setengah empat. Jam setengah enam, Resya sudah bangunin gue karena gue harus datang ke acara radio pagi!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
Roman d'amourLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...